Merefleksikan 60 Tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2023) Kekuasaan Indonesia di Papua Barat (By:Kristian Griapon, Mei 1, 2023)
Tinjauan Kasus
Indonesia telah melanggar hak penentuan nasib sendiri (rights to self determinations), hak politik bangsa Papua Barat di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat yang kini disebut Papua Barat. Hak politik bangsa Papua Barat itu telah dijamin berdasarkan perjanjian New York, 15 Agustus 1962, sebuah perjanjian yang telah diratifikasai oleh para pihak Indonesia dan Belanda, yang bersengketa dalam perebutan kekuasaan terhadap wilayah geografi New Guinea Bagian Barat, dan telah menjadi pelaporan Sekjen PBB, serta dideposit pada majelis umum PBB.
Pelanggaran hak penentuan nasib sendiri berdasarkan fakta pelaksanaan Pepera (Act of Free Choice) 14 Juli - 2 Agustus 1969 di Papua Barat oleh Indonesia, telah melanggar klausula New York Agreement, 15 Agustus 1962, pasal XVIII poin (d) tatacara pemilihan bebas satu orang’satu suara, yaitu: Tanpa persetujuan pihak yang meratifikasi perjanjian itu, Belanda, Indonesia merubah pasal XVIII poin (d), pelaksanaan PEPERA berdasarkan budaya Indonesia, “Musyawarah Mufakat Atas Nama Orang asli Papua 1025 orang, yang terdiri dari orang asli Papua dan imigran Indonesia ditunjuk oleh otoritas Indonesia mewakili ± 800.000 penduduk asli Papua yang memiliki hak suara dalam pemilihan bebas, di Papua Barat pada tahun 1969”.
Pelanggaran itu dapat diamati dari sekjen PBB membuat catatan (make notes) diadopsi dalam sidang majelis umum PBB ke 24, 19 November 1969 menjadi catatan (take notes) dengan nomor registrasi 2504, yang kini disebut oleh Indonesia “Resolusi PBB 2504”.
Menjadi Pertanyaan, kalau take notes itu disebut resolusi dari sebuah plebisit penentuan nasib sendiri, mengapa sidang Majelis Umum PBB ke 24, 19 November 1969 tidak membuat keputusan akhir yang mengikat tentang status akhir wilayah New Guinea Bagian Barat berdasarkan PEPERA 1969? Apakah New Guinea Bagian Barat: (a). Menjadi negara merdeka berdaulat; (b). Menjadi asosiasi bebas dengan Negara merdeka (wilayah otonom di dalam sebuah negara merdeka); atau, (c). Terintegrasi ke dalam Negara merdeka, berdasarkan hasil PEPERA?
Tinjauan Hukum Internasional
Pacta sunt servanda norma dasar dalam hukum internasional, Secara umum pacta sunt servanda diartikan sebagai terikatnya suatu negara terhadap suatu perjanjian internasional diakibatkan oleh persetujuan dari negara tersebut untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional. Ketika suatu Negara menjadi pihak dalam perjanjian internasional, menyatakan kehendak untuk terikat terhadap ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut. Hal itu berdampak pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian itu, berlaku dalam teritorial negara yang menyatakannya. Pada dasarnya asas ini menyatakan bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian, sehingga kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh perjanjian ini harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Apabila terjadi pelanggaran dapat dibawah ke Mahkamah Internasional.(piagam PBB pasal 103)
Perjanjian New York 15 Agustus 1962 telah ditanda tangani dan diratifikasi antara Permerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda, kedua belah pihak yang bersengketa, serta menjadi laporan SEKJEN PBB dan tersimpan (deposit) pada Majelis UMUM PBB (pasal 102 piagam PBB). Sehingga Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 telah memenuhi standar perjanjian internasional berdasarkan konvensi Wina hukum perjanjian internasional tahun 1969.
Bahwa semua bentuk pelanggaran dari klausula Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 terkandung prinsip Ipso Facto (pasal 93 ayat (1) piagam PBB), artinya dapat diminta pendapat hukumnya di Mahkamah Internasional (ICJ) atas dasar rujukan Majelis Umum PBB (penyelesaian melalui politik internasional), maupun gugatan hukum di mahkamah internasional oleh pemerintah kerajaan Belanda, negara koloni di New Guinea Bagian Barat yang bertanggungjawab atas perjanjian yang dibuatnya dengan Indonesia (penyelesaaian hukum melalui Yuridiksi Mahkamah Internasional).
Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat yang terjadi pada Act of Free Choice 1969 hanya bisa dilakukan berdasarkan negara. Kalau melalui pendekatan politik internasional harus melalui mekanisme Majelis Umum PBB, dan kalau pendekatannya melalui hukum internasional, harus melalui Yuriksi Mahkamah Internasional.
Pendekatan politik internasional, syaratnya harus diusul oleh negara pendukung melalui sidang mejelis umum PBB dan mendapat dukungan mayoritas negara-negara anggota PBB, sedangkan untuk pendekatan hukum internasional, hanya bisa dilakukan oleh para pihak yang terlibat langsung dalam perjanjian itu, yaitu negara Kerajaan Belanda yang mempunyai kewenangan menggugat pelanggaran hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat di mahkaman internasional sebagai negara koloni di Papua Barat dan yang membuat perjanjian New York, 15 Agustus 1962 dengan Indonesia.(Statuta Mahkamah Internasional pasal 34, 36 dan 38)
Hak menentukan nasib sendiri dalam wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri termasuk dalam prinsip dasar hukum internasional Jus Congens norma yang harus ditaati, diformulasikan untuk "suatu wilayah yang terpisah secara geografis dan...berbeda secara etnik dan/atau budaya dari negara yang mengelola/menguasainya”, ditetapkan dalam Prinsip VI Resolusi Majelis Umum 1541 (XV), diadopsi pada 15 Desember 1960, yaitu: Suatu “Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri yang dipromosikan mencapai pemerintahan sendiri (pemerintahan penuh) apakah: (a). Menjadi negara merdeka berdaulat; (b). Menjadi asosiasi bebas dengan Negara merdeka (wilayah otonom di dalam negara merdeka); atau, (c). Terintegrasi kedalam Negara merdeka."
Konflik Bersenjata Di Papua Barat Memenuhi Prinsip Ipso Facto
Konflik bersenjata di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat (Papua Barat), lahir dari perjanjian New York, 15 Agustus 1962 Indonesia dan Belanda tanpa melibatkan orang asli Papua.
Negara Kerajaan Belanda sebagai negara yang terlibat langsung dengan Indonesia dalam penyerahan kekuasaan atas wilayah geografi New Guinea Bagian Barat berdasarkan perjanjian yang dibuatnya (New York Agreement, 15 Agustus 1962). Sehingga terjadi pelanggaran hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat pada pelaksanaan PEPERA 1969 oleh Indonesia, yang melahirkan konflik bersenjata berkepanjangan mengakibatkan peristiwa eksesif terhadap nilai-nilai kemanusiaan penduduk asli Papua. Oleh karena itu, Negara Kerajaan Belanda memikul tanggung jawab moral dan kewajiban internasionalnya yang terikat berdasarkan perjanjian yang dibuatnya dan tidak bisa menghindar dari tanggungjawab itu, untuk menjembatani konflik Papua Barat mencari jalan penyelesaiaan damai, baik itu melalui pendekatan poltik internasional maupun melalui Yurdiksi Mahkaman Internasional.
Menurut pandangan penulis, kalau orang asli Papua Barat hari ini mempersoalkan Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Selandia Baru harus bertanggungjawab atas pendekatan kekuasaan Negara Republik Indonesia yang berlebihan di wilayah Papua Barat, itu semacam salah alamat, karena mereka itu sebenarnya penunggang kepentingan bisa bermuka dua, lain halnya jika Belanda yang diminta pertanggungjawabannya, karena “Akibat Hukum” (implikasi yuridis) yang terikat pada New York Agreement, 15 Agustus 1962, wasalam (Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.
Komentar
Posting Komentar