Seorang pejuang, “Hari ini angin menisik teras rumah. Di atas gemerisik atap, cahaya kuning pucat, tenang dan sengat. Bersinar-sinar melalui daun-daun. Suara-suara yang mendayu tepian bukit. Embusannya lembut membawa aroma bunga. Segar dengan embun yang jatuh. Ini seluruh negeri.”
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.
Seorang pejuang berkata, “Dan di bawah jendela halaman rumah sakit ini, berkilauan cahaya kehijauan seperti permadani. Kelompok bunga bermekaran. Kecipak ikan semarak di kolam. Kepak kupu-kupu mendebarkan dada.
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.
Seorang pejuang berkata, “Oh, malam itu indah sekali, langit kesumba namun rawan menakutkan. Jari-jariku bergetar menyentuh pelatuk licik kolonial Indonesia. Dadaku meruang altar doa. Berdetak dan kebas mengucap segala doa dan duka merupa. Setiap kata mengetuk janji suci pada negeri, juga perjuangan diri.”
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.
Seorang pejuang mulai berteriak, “Aku terbangun dalam kesakitan; wajah-wajah luka ada di semua mata. Datang berkerumun ribuan gugur bunga. Katanya mati satu tumbuh seribu. Tapi udara penuh bau darah dan mesiu, menuntut mati satu tumbuh beribu-ribu.”
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.
Seorang pejuang mulai berteriak teramat kencang, “Aku tahu yang aku dengar, kita merdeka! PAPUA akan merdeka! Gema bahagia membilas duka buritan masa. Oh, merdeka milik siapa? Milik kalian semua. Tapi aku juga akan bawah noken benderaku bintang kejora di dalam hati—bendera hati tinggi-tinggi. Kemerdekaanku sendiri—merdeka sampai mati.”
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.
Seorang pejuang yang duduk tersenyum dan berbisik lirih, “Lihat, lihat itu, bendera bintang kejora lambatnya cepat akan berkibar di Negeri Papua,” jari tuanku menunjuk.
Dalam apa yang telah dikatakannya, aku belajar perihal negeri ini. Jauh lebih banyak, dari semua yang aku dapat sejak masa kanak-kanak.✊✊✊
-Tn.Victor Yeimo
Komentar
Posting Komentar