Begitu hidup ini. Hidup ini membelum dan terus berevolusi. Semakin kita tahu semakin banyak pula yang Kita Belum tahu. Seperti cuaca yang alami, disini mungkin hujan tapi tempat lain mungkin tidak. Jadi sekalipun engkau melakukan hal terbaik untuk menghidupkan bumi-manusia. Akan berbeda ceritra bahkan engkau disebut pengacau, kriminal (dan seterusnya).
Tidak peduli seberapa banyak kita beribadah, tidak peduli seberapa harta yang kita dapat, tidak seberapa tinggi pangkat yang kita duduki, tidak seberapa banyak kawan dan musuh.
Pada akhirnya semua yang kita miliki itu akan bermuara pada nilai yang kita bentuk untuk diri kita sendiri. kejahatan atau Kebaikan. Keadilan atau ketidakadilan. Tulus atau munafik. Cinta atau tidak. Menjadi Penindasan atau menjadi tertindas
Muara dari eksistensi kita sebagai manusia adalah memanusiakan sesama manusia atau melakukan yang terbaik untuk bumi-manusia. Itu artinya hidup itu untuk menghidupi kehidupan. Seperti sungai kecil dan besar membawa energi masing-masing untuk bermuara pada lautan.
Saat ada yang merintih kesakitan, akankah tanganmu membasuh lukanya?
Saat ada yang tertindas lalu melawan, akankah kita tetap setia berdiri di sampingnya?
Che Guavara sudah berkata “ jika hatimu bergetar melihat ketidakadilan, engkau adalah saudaraku”. Eksistensi manusia adalah hidup untuk menghidupkan bumi-manusia jadi mungkin meluangkan sedikit waktu untuk mendengarkan kebenaran, sejatinya kita sudah mendengar suara Allah.
Kata Bung Karno “di rumah gubuk si miskinlah Tuhan bersemayam”. Begitulah hidup. Kita melangkah sampai jauh, akhirnya kembali ke dalam tanah juga. Tanpa membawa apa-apa. Hanya abadikan jejak kebenaran, kebaikan, ketulusan dan cinta untuk bumi-manusia.
Teruslah persembahkan yang terbaik untuk tanah air mu, tempat kau lahir, besar dan mati.
Omikzon balingga
Komentar
Posting Komentar