Tahun 1932, dari Muting, Pater Petrus Hoeboer MSC, membelah Sungai Digoel yang terkenal ganas, akhirnya tiba di suatu tempat yang bernama Ninati. Ketika tiba di sana hanya ada 2 rumah pohon. Satu milik Carian dan satu lagi milik Yoman. Pater Hoeboer tinggal di rumah pohon milik Carian dan mulai membongkar hutan lebat, membangun bevak besar untuk rumah guru dan sekolah. Beliau dengan dibantu oleh Pundi dari Wamal membangun sebuah pastoran sederhana. Situasi serba sulit ketika itu.
Waktu-waktu selanjutnya dihabiskannya dengan mulai berpatroli di wilayah orang Muyu Mandobo. Medan yang dilaluinya sangat berat. Kakinya sering terluka karena menginjak akar pohon. Tak jarang ia bertemu ular di hutan, melewati jalan yang berkelok-kelok, mendaki bukit-bukit. Ia juga sering tenggelam dalam lumpur di tanah rawa-rawa.
Tahun 1933, atas inisiatif Pater Hoebor datanglah 4 orang guru. Mereka ditempatkan di Ninati, Ogemkapa, Kamakbon, dan Jibi. Padahal ketika itu di tempat tersebut belum terbentuk kampung, orang masih tinggal di dalam hutan di rumah-rumah pohon. Anak-anak dikumpulkan dalam bevak besar, yang tangan kanan dapat menyentuh telinga kiri itulah yang dapat bersekolah. Anak-anak ini dapat satu ruangan yang agak besar. Ruangan lain untuk nyora dan guru tinggal. Guru mencatat nama semua anak-anak.
Pater Hoeboer juga mempelajari kebiasaan masyarakat. Mereka mulai beternak dan bertani bahkan ada pula yang berdagang.
Tahun ke empat, Pater Hoeboer bersama dengan guru-guru dan istri mereka (nyora) mulai dapat mengajarkan berbagai pendidikan kepada anak-anak, terutama pendidikan agama.
Tahun 1937, pada Hari Raya Natal, diadakan pembaptisan pertama. Delapan puluh (80) orang menerima Sakramen Permandian.
Sesudah acara ini, tak lama kemudian Pater Verschueren, sahabat baiknya dari Muting mengunjunginya di Ninati. Pater Verschueren sangat takjub dengan perkembangan anak-anak di Ninati. Mereka cakap berbahasa Melayu bahkan pelayan misa sanggup berbalas jawaban dalam bahasa Latin.
Ketika Jepang mulai menginvasi negara-negara Asia dan akhirnya tiba di Indonesia, tidak ada lagi guru yang datang dari Langgur. Di sisi lain, kampung-kampung mulai terbuka dan permintaan akan tenaga guru juga bertambah. Pater Hoeboer melihat bahwa orang Muyu dapat dengan cepat belajar. Akhirnya, ia memilih anak-anak muda yang cerdas yang ia percayai untuk mendidik mereka jadi guru. Pater Hoeboer membuka suatu lembaga pendidikan agama di Mindiptana. Dengan adanya guru-guru katekis itu, banyak kampung di daerah Muyu dibuka dan menerima agama. Kemudian guru-guru agama yang berasal dari Muyu itu menyebarkan agama ke daerah Mandobo. Guru-guru ini antara lain: Amandus Aaron, Wilem Wante, Johanes Wikom, Johanes Konyokpok, Andreas Boweng, dan Theodorus Tarong (orang tua dari Pater Kayetanus Tarong MSC).
Waktu itu di Mindiptana ada seorang Pater, ahli bahasa, namanya Petrus Drabbe MSC (atau kemudian dikenal dengan Pater Drabbe). Pater ini menyelidiki berbagai bahasa dan mengarang katekismus dan buku doa dalam bahasa daerah. Pater Drabbe membantu Pater Hoeboer selama dua tahun dan menghasilkan buku-buku doa-doa dan ketekismus dalam bahasa Muyu.
Selepas perang dunia ke dua, Pater Petrus Hoeboer MSC kembali ke tanah kelahirannya, Belanda. Orang Muyu sangat menghargainya. Ia dipanggil “Ambe” yang berarti bapak dan dapat julukan “Kambarim Taarep” yang berarti Pemimpin Besar. Tidak ada yang dapat julukan ini selain Pater Petrus Hoeboer MSC.
Sumber: Buku Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan.
Sumber: Namek Heru (Facebook).
Komentar
Posting Komentar