Riwayat Hidup Misionaris Ottow dan Geissler
Kutipan Catatan dari Buku "AJAIB DI MATA KITA"
Carl Williem Ottow (1826-1862)
Carl Williem Otto dilahirkan pada tahun 1825. Sejak berumur 18 tahun ia mulai tertarik untuk menjadi pekabar injil. Ia termotifasi oleh khotbah dari seorang pendeta di jemaatnya.Selama kurang waktu 7 tahun bergumul bagaimana mengwujudkan minatnya, sebab lingkungan keluarga sendiri tidak mendukung, terutama ayahnya yang bersikap keras, maupun ibunya sendiri pula berkebratan, karena Carl banyak membantu dirinya dalam soal-soal penghidupan keluarga.
Selama bertahun-tahun Otto terus mengumuli niatnya itu dengan doa dan akhinya ia memutuskan untuk bertemu dengan Gossner. Kepada Gossner ia mengisahkan kesulitannya, tetapi ia tidak mendapat respon baik dari Gossner, secara tegas Gossner menulis surat kepadanya. Katanya kalau orang tua anda berkebrata, sayapun tidak menerima anda. Penolakan dari Gossner tidak membedung niat itu, ia dengan penuh ketabahan melakukan pekerjaan-pekerjaan zending dilingkungan gereja (jemaat) dimana ia tinggal. Pada siang hari ia membuat rayar kapal, malam hari dan pada hari minggu ia menggunjung orang sakit dan orang yang membutuhkan bantuan. Ayah dan sauradaranya terkesan dengan perilakunya,yang menjadikan mereka dan kemudian brtobat dan percaya.
Dan ayahnya sampai berdoa sendiri pada stu pertemuan di rumahnya, Carl jatuh pinsang. Ini merupakan titik balik dimana orang tuanya kemudian mengijinkan Carl untuk sebagai pekabar injil. Sebab di sadari bahwa bila tidak, Tuhan dapat saja mengambil nyawanya. Dan dengan berat hati mereka pun menginzinkanya pergi. Dengan izin orang tuanya, Carl diterima oleh Gossner.
Setelah beberapa waktu lamanya dididik oleh Gossner maka, tanggal 18 Aplir 1852, ia di teguhkan sebagai seorang pekabar injil dan dipercayakan untuk bekerja untuk orang-orang kafir. Otto mengungkapkan bahwa, ia mengucapkan janji itu dengan kepercayaan akan bantuan Tuhan dengan senang hati. Tanggal 14 mei 1852 ia pamit dengan orang tua dan kaluarga kemudian ia pergi ke zetten dekat hemen tempat diman calon-calaon pekabar injil dipersiapkan utuk selanjutnya diutus keluar Eropa.
Johan Gottlod Geissler (1830-1870)
Jhon Gottlob Gessler, dilahirkan pada tanggal 18 februari 1830 di Langen-Reichenbanck (Jerman) Sejak beumur 14 tahun, ia sudah terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja sebagai anggota gereja Lutheran Jerman, kemudian ia dibawah oleh ayahnya ke berlin, disana ia belajar pada seorang tukang perabot rumah.
Sebagai anggota gereja ia pun secara teratur pergi kegereja, selain itu ia juga mengunjungi semacam sekolah minggu untuk orang dewasa. Diatas pintu bangunan sekolah itu tertulis, “Pergilah keseluruh dunia dan beritakan injil Matius 28:19”. Geissler terkesan dengan kata-kata itu dan mulai sejak itu pula ia menaruh minat untuk pekerjaan zending.
Ia suka belajar dan menggabungkan diri dengan sekelompok pemuda yang bersama menjalankan sejenis pekerjaan kader. Dari situlah Geissler belajar banyak hal dan mengunjungi kawan-kawannya, terkadang ia mengikuti pertemuan-pertemuan zending.
Pada tanggal 14 Agustus 1851 ketika Geissler berusia 21 tahun, dalam suatu pesta zending ia mendengar khotbah tentang “pergilah keseluruh dunia”. Sejak itu ia tidak ragu lagi untuk menunaikan tugas yang kemudian di embanginya. Dan seperti itulah yang terjadi pada diri Geissler, sehingga ketika ia bertemu dengan bapak Gossner dalam suatu perkumpulan “pembinaan” yang diadakan untuk calon para zendeling, dimana bapak Gossner berbicara tentang pekerjaan zending rupanya Gossner dalam perkumpulan itu ia memakai pakaian yang agak menyolok, sebab sesudah cerama itu, bapak Gossner berbicara kepada pemuda-pemuda yang hadir, tetapi tiba-tiba ia berpaling kepada Geissler lalu bertanya …… dan bagaimana dengan anda yang berbaju biru itu. apakah anda tidak tertarik juga untuk melakukan pekerjaan zending.
Atas pertanyaan ini Geissler secara spontanitas menjawabnya ya, lalu ia menambahkan lagi bahwa ia sebenarnya tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi seorang zending (pekabar Injil) karena ternyata ia masih memiliki kekurangan, akan tetapi Gossner memberi motifasi kepadanya, dan ia pun dapat mengikuti pendidikan. Dan pada tanggal 28 Februari 1852 ia di teguhkan sebagai seorang zendeling dan dengan demikian ia menjadi salah satu dari murid Gossner yang kemudian diutus ke Medan PI (pekabaran Injil).
Calon pertama untuk Papua, pada tahun 1850 Herdring dan Gossner saling bertemu dan sepakat untuk mewujudkan gagasan mereka mengenai pekabaran Injil maka, lahirlah apa yang disebut zendelings Werklieden (zending tukang).
Pertemuan tersebut dimana menjadi hubungan berusaha dan bekerja sama mengkokritkan bagaimana konsep utusan tukang itu bisa terwujud. Dari Jerman Gossner memilih calon-calon utusan dan mengirimnya kepada Herdring di Belanda untuk dilatih bersama-sama calon lainnya yang ada di negeri Belanda.
Setelah mendapat orang-orang yang atas keputusan dan pengakuan imannya, dan mendapat kepercayaan untuk diutus (calon-calon pekabar Injil pertama) maka, pada tahun 1852, rumah zending di sebelah pastori Herdring di setten, dijadikan sebgai tempat penumpangan dimana mereka di persiapkan untuk di utus ke Eropa. Di zetten, tempat dimana para calon pekabaran Injil yaitu di tampung, terdapat beberapa orang yang siap diutus ke wilayah Hindia Belanda (Indonesia) masing-masing
- Grimm
- Burgers
- Ottow,
- Scheineider,
- Geissler,
Mereka ini setelah dalam kurum waktu yang singkat mendapat pengetahuan teologia (kerohanian dan keterampilan), kemudian diutus untuk pergi ke Medan pekabaran Injil yakni, dunia ke-3 tempat tinggal orang-orang kafir. Heldring sendiri memimpin ibadah pelepasan (pengutusan), para pekabar Injil itu dilepaskan pergi.
Hari itu tepatnya tanggal 26 juni 1852 dengan menumpang kapal Abel Tasman berangkat dari Roterdam dan akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1852 tibalah mereka di Batavia (sekarang Jakarta) diantara mereka yang diutus itu ada yang pergi ke pulau-pulau Sangir Talaud dan Halmahera sedang Ottow dan Geissler khusus untuk daerah Papua.
Ottow dan Geissler menuju ke Papua. Perjalanan pertama dari Belanda – Indonesia (Batavia) sudah dilalui, walaupun permulaan itu amat sukar karena tempat tujuan itu belum pasti, tetapi bagi pekabar Injil pengalaman itu diterima denga penuh sukacita. Setelah tiba di Batavia, Ottow dan Geissler tidak diizinkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk melanjutkan perjalanan ke Papuan. Pemerintah HB, tidak mengizinkan orang yang bukan warga negara Belanda masuk ke daerah lain di Indonesia yang adalah wilayah jajahannya. Ada dua alasan yakni:
- Soal keamanan dan keselamatan dari ke dua pekabaran Injil itu,
- Pemerintah HB mencurigai orang lain yang masuk ke daerah jajahan mereka.
Ottow dan Geissler ke Papua jika ada bukti-bukti dan argumentasi yang kuat dan yang meyakinkan bahwa tempat dimana mereka tujui tidak akan menimbulkan malapetaka bagi mereka. Karena daerah Papua dianggap sebagai daerah yang penduduknya terkenal dalam hal peperangan, perampokan, liar dan sebagainya.
Alasan itu menyebabkan Ottow dan Geissler tinggal kurang lebih satu setengah tahun di Batavia sambil menunggu surat izin yang di keluarkan pemerintah HB, Geissler menyelenggerakan suatu sekolah di Batavia, sedang Ottow pergi ke sebuah kampung Makasa, disana ia membuka sekolah bagi anak-anak Tionghoa dan Sunda.
\Selama menunggu akhirnya izin ke Papua itu dikeluarkan (sebuah pas), tetapi terbatas hanya sampai ke Ternate. Izin itu diusahakan oleh suatu badan zending di Batavia “Het Genootsvhap Voor In-en Vitwendige zending”. Badan ini yang berfungsi untuk menupang para utusan yang datang dari Eropa. Demikian Ottow dan Geissler ditampung oleh badan sending ini. Mereka hanya sampai ke Ternate, karena ke Papua ada kemungkinan untuk mengutus para pekabar injil kesana. Hal itu didukung oleh laporan-laporan yang diperoleh bahwa Manokwari (teluk doreh) Barat Daya Papua, dikatakan bahwa penduduk itu bisa diajak bicara (berkomunikasih) Laporan tersebut berasal dari seorang anggota zeding G.F. De Bruin Kops, yang pada tahun 1850, ikut kapal perang “Circe” (Belanda) Ke Nieuw Guinea dengan tujuan mengadakan penyelidikan ilmiah dalam rangkah menetukan batas Wilayah pemerintahan Hindia Belanda.
Di katakan Demikian.
“Teluk Doreh memberikan kesan baik dan menguntungkan daerah yang sangat cocok untuk menjadi tempat tinggal, selain teluknya yang aman, Indah permai terdapat juga air minum,yang melimpah ruah. Daratan Doreh memiliki tanah yang subur, beriklim sehat dan segar juga terdapat bahan baku rotan, taripan dsb, untuk bahan perdagagan. Pulau-pulaunya berdekat dan pendudukanya yang ramah, lemah lembut, sekalipun mereka kelihatan malas terutama kaum lelakinya yang suka tidur dan merokok, namun mereka bisa dapat bekerja. Disana banyak perahu layar yang datang singgah dan pergi. Tampan dan bangunan tubuh mereka bersih dan rapih, bermata bening, gigi mereka berderet putih, mudah senyum dan dapat dipercayai”
Berdasarkan laporan ini maka pemerintah HB, mengeluarkan izin bagi Ottow dan Geissler, walaupun terbatas hanya sampai di Ternate. Tanggal 18 Mei 1854 diadakan kebaktian perpisahan dengan Ottow dan Geissler di Batavia. Doa-doa yang di naikan penuh penyerahan kepada Tuhan karena disadari bahwa pergi ketanah papua mengandung bahaya bagi keduanya. Kebaktian perpisahan itu memberi kesan yang dalam baik bagi Ottow maupun Geissler, karena mereka berangkat menuju kemasa depan yang oleh banyak orang dilukiskan sebagai daerah hitam, “Wilayah Iblis” kebaktian perpisahan itu mengharukan sampai membuat Geissler tertikan dalam batin lalu ia menulis dalam catatan harianny demikian: Kami pergi ke daerah yang belum pernah ada seorang pekabar injil, kami tidak mengharapkan pertolongan dari orang lain selain kepada Dia yang mengatakan “Aku menyertai kamu sampai kepada akhir hidup Mat 28:20”
Pada tanggal 30 Mei 1854 Ottow dan Geissler tiba di Ternate, mereka menumpan dirumah Pdt. J. E Hoveker, yang sudah sejak tahun 1833 menjadi Pendeta di satu jemaat di sana. Dan rumahnya dijadikan sebagai tempat penampungan para pekabar injil dari dan ke Papua. Disini Ottow dan Geissler bertemu dengan tuan Duivenbode (Pemilik kapal sekunar) yang melayani kepulauan Maluku dan Papua untuk maksud perdagangan. Pdt. Hoveker-pun berkebratan karena besarnya resiko dan tidak ada perlindungan dari pemerintahan. Walaupun dengan kemauan keras Ottow dan Geissler tetap melaksanakan niat mereka. Bagi mereka itu merupakan kehendak Tuhan, sehingga mereka tetap ke Papua. Tekat itu begitu kuat, sehingga Pdt. Hoveker menulis: “Bahwa Ottow dan Geisslersudah merasa yakin bahwa Tuhan berkehendak ke Papua maka, saya pun merasa demikian, sebab seandainya segala kebratan dan berita nekatif yang mereke dengar pastilah mereke menerima anjuran dan nasehat saya”. Pertimbang lain adalah megenai tempat dimana mereka akan menetap, maka teluk doreh sebagai tempat tinggal, karena daerah sengat strategis dan terlindung dari angin pada segala jurusan.
Penguasa (Residen Ternate dan gubernur Maluku) ternyata menetujui pula daerah tersebut sebagai tempat tinggal kedua pekabar tersebut itu, bahkan Pdt Hoveker menyebutkan adanya harapan bahwa pemerintah tidak lama lagi akan mendirikan pos disana, sehingga demikian kebratan yang berhubungan keslamatan dan sepenuhnya ditiadakan.
Kesedian dan kerja sama Residen dan Gubernur sangat di butuhkan oleh kedua pekabar injil tersebut, karena dengan begitu mereka bisa mendapat surat izin dari sultan Ternate untuk maksud perjalanan ke Papua. Karena Sultan Ternate (Islam), sehingga Residen menilai bahwa ia tentu tidak suka kepada dua orang pekabar injil ini ke Papua, maka tidak memberikan izin kepada mereka. Agar tidak di ketahui indetitas mereka maka ia mengemukakan seolah-olah kedua orang muda tersebut yaitu Ottow dan Geissler di sebutlah peneliti kedaerh Papua.
Walaupun ada unsur rekayasa namun hal itu pun kemudian diketahui juga sultan, tetapi sultan tidak bereaksi apa-apa malah berkaitan ia agaknya sambil tersenyum :Ah mereka ini akan pengijil dan dilam surat ijin yang diberikan kepada mereka tampa kebratan apa-apa dia menulis “Pendeta atau penginjil”. Sultan juga menulis surat kepada Korano (Kepala Kampung) dimansinam agar setibanya kedua pekabar injil itu mereka dapat dilindungi bahkan bila kekurangan makanan mereka dapat dibantu. Kita mendapat kesan bahwa orang-orang kristen di Ternate membayangkan kehidupan Papua sebagai pertualangan yang romatis. Seorang guru bahkan memberi izin kepada anak lelakinya Frits (12 tahun) untuk bersama Otto dan Geissler lebih meyakinkan jaminan keselamatan dan penyertaan Allah, sehingga dalam catatan harianya Ottow menulis: Hanya seprti diduga orang tidak ada disana, seandainya penduduk diperlakukan dengan baik, mereka akan berbuat baik pula bagi kami. Ia mengguangkapkan bahwa Allah adalah pokok kekuatan yang telah menaklukan Goliad di depan Daud kini masih hidup. Dialah yang akan mengangkat bagi kamu batu rintangan terberat dan membimbing kepada yang baik.
Pada tanggal 12 Januari 1855, perjalanan menuju Papua di mulai. Kedua Perintis yakni Ottow dan Geissler dengan sekunar Ternate menuju masa depan mereka dengan diperlengkapi barang-barang bawahan secukupnya. Perjalanan Ternate Ke Papua di tempuh kurang lebih tiga minggu, yaitu 25 hari kemudian Ottow dan Geissler memasuki teluk Doreh. Tepat tanggal 5 Februari 1855 hari minggu pagi yang cerah, jam 06.00 kapal Ternate membuang sauhnya didepan kampung mansinam pelabuhan Doreh. Untuk mengungkapkan rasa suka cita itu, Geissler menuliskan kepada Bapak Gossner “Andah tak dapat membayangkan, betapa besarnya rasa sukacita kami bahwa pada akhirnya tanah tujuan terlihat. Matahari terbit dengan indahnya, Ya semoga matahari yang sebenarnya meninari kami dan orang-orang kafir yang malang itu, yang telah sekian lamanya merana didalam kegelapan. Semoga sang Gembala setia mengumpulkan mereka dibawah tongkat Gembala-Nya yang lembut”
Dengan sekoci pertama menuju daratan ditumpangi Ottow dan Geissler ke pantai Mansinam. Sebagai pekabar injil yang sunggu-sunggu telah menyerahkan diri untuk bekerja bagi orang kafir, maka hal pertama yang mereka dua lakukan adalah mengucapakan pertanyaan “ Dengan nama Tuahan kami mengijakan kaki di Tanah ini” Dengan kata kata itu kedua mengijakan kakinya diatas bumi Papua. Di dalam rimbunan semak belukar mereka dua segera berlutut dan berdoa kepada Tuhan. Isi doa secara lengkap kita tidak ketahui, namun menurut F.C. Kamma, mereka berdoa kepada Tuhan untuk mendapat kekuatan, Tenaga, Terang dan bijaksana, agar semua dapat dimulai dengan sungguh-sungguh baik, dan agar Tuhan sudi menaruh belas kasihan kepada orang-orang kafir yang malang itu. Untuk sementara mereka dua menempati bangunan bekas”gudang arang milik Deyghton” nakoda kapal rembang yang sangat dihormati dan di segani oleh penduduk di daerah pesisir pantai teluk Doreh dan sekitarnya.
Dengan pertanyaan serta doa yang diucapakan tersebut maka, pekabar injil di Papua dimulai, dan sejak itu Ottow dan Geissler membuka Mansinam sebagai pos pekabar injil pertama. Setelah dua tahun kemudia (1857) Ottow membuka pos pekabar injil kedua di Kwawi daratan manokwari, sedangkan Geissler meneruskan pekerjaan dimansinam. Kontak pertama dengan masyarakat sama sekali belum nampak, karena kedua pekabar injil itu selain mengalami kesulitan dalam berkomunikasih, tetapi juga belum membuka diri mengadakan hubungan dengan penduduk.
Pada hal satu pendekatan utama untuk memahami latar belakang budaya, adat istiadat, kebiasan dan lain-lain. Maka harus mendatangi orang itu lalu membiarkan diri ditanyai, anda darimana dan mau kemana. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memberikan gambaran tentang struktur hidup dan pola berfikir orang papua didalam “agama suku”. Didalam kepercayaan agama suku, orang Papua menganggap bahwa orang putuh adalah orang mati yang bangkit kembali.
Apalagi ketika Otto dan Geissler turun dengan barang-barang bawaan yang banyak, walaupun kita ketahui bahwa para pekabar injil itu miskin dan semua yang dibawa itu diperoleh dari uang hasil pemberian atau sokongan, tetapi dimata orang Papua mereka adalah orang-orang terkaya yang pernah hidup di Mansinam. Mereka ini adalah orang yang datang dari tempat kematian (perut bumi) membawa banyak barang.
“Periode pekabaran Injil di tanah Papua”
- Perintisan dan permulaan pekabaran injil (1855-1863)
- UZV memperluas pekerjaan dari Gossner yang di rintis Ottow dan Geissler (1863-1907)
- Pembentukan resort-resort (1907-1924)
- Resort dan jemaat-jemaat di intesifkan (1924-1942)
- Masa PD II Masa pencobaan dan ujian (1942-1945)
- Pembangunan Kembali “Pembentukan jemaat, Klasis dan Resort dan persiapan menuju GKI yang berdiri sendiri”(1945-1956).
Konfrotasi Injil Dan Kebudayaan
Dalam pengalaman sejarah pekabaran Injil ditanah Papua, diberbagai tempat terjadi pengalaman-pengalaman bahwa pada permulaan abad ke-20, sewaktu mulainya gerakan peralihan kepada kekristenan, unsur-unsur budaya mengalami tantangan berat karena dianggap unsur-unsur kafir yang patut ditiadakan. Sikap konfrontatif (pertentangan) sesungguhnya bukan berasal dari masyarakat pemilik kebudayaan, tetapi bersumber dari para pekabar Injil. Akibat dari pandangan yang keliru terhadap kebudayaan menyebabkan terjadinya pergeseran nilai yang menimbulkan krisis identitas budaya. Ketika nilai-nilai budaya setempat mengalami Infansi oleh nilai-nilai baru dari luar, sehingga terjadi benturan-benturan nilai antara yang lama dan baru.
Biasanya nilai-nilai baru dari luar dianggap lebih kuat dan unggul terhadap nilai-nilai setempat. Kadangkala terjadi bahwa akibat dari benturan-benturan nilai itu, orang kehilangan pegangan hidup. Misalnya dengan dimusnahkan unsur-unsur budaya sehubungan dengan penerimaan Injil oleh suatu kelompok sosial, tanpa disadari atau tidak, lama-kelaman menggoncangkan seluruh sistem masyarakat, yang dipegang teguh dan yang telah berurat dan berakar.
Ottow dan Geissler mengamati dan mencatat apa yang mereka temukan disana, dengan pola pendekatan adaptasi yaitu dengan metode yang di dalam Antropologi budaya “obserfasi dan partisipasi” dengan pola pendekatan tersebut ottow dan Geissler mengerti kebudayaan, adat, perilaku hidup penduduk setempat yang dikabari Injil.
- Tahun 1856, telah dimulai untuk pertama kali kebaktian hari minggu dalam bahasa melayu yang dilakukan dua kali pagi dan sore.
- Tahun 1857 mereka berhasil menyusun sebuah buku nyanyian dalam bahasa Numfor. Dengan karangan buku nyanyia tersebut menunjukkan suatu prestasi dibidang bahasa. Demikian juga terjemahan Alkitab dimulai: kitab Injil Matius, Markus, buku katekismus, dan kamus berbahasa Nufor. Disamping itu pendidikanpun dimulai, sekolah zending pertama dimulai di Mansinam (1857). Kemudian disusul sekolah Zending kedua di Kwawi.
- Tahun 1867 sekolah sending ketiga dibuka di Meoswar dan dua tahun berikutnya 1869 satu sekolah lagi dibuka di Andai.
Dengan demikian beberapa daerah tertentu dibuka sekolah-sekolah Zending bersama dengan pembukaan pos-pos PI yang baru antara lain pembukaan sekolah di Maomi-Ransiki (1874), di pulau Roon (1883), dan pada tahun 1897 di buka satu sekolah khusus untuk anak-anak pedalaman dari suku Hatam dan Meyach di Ambang Manokwari.
Sumber : Buku "AJAIB DI MATA KITA" -Masalah komunikasi antara Timur dan Barat- dilihat dari sudut pengalaman selama seabad pekabaran injil di Irian Jaya. dr F. C. Kamma 1981, Diterbitkan oleh BPK GUNUNG MULIA
Komentar
Posting Komentar