------------------------------------------------------------------------------------
KNPBDogiyai// Kami sudah membaca, mendengar dan melihat langsung dari Orang Asli Papua (Tokoh-Tokoh Papua baik Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Perempuan dan Tokoh Pemuda) di Tanah Papua dan Papua Barat tentang Penolakan Daerah Otonomi Baru (DOB) dengan 6 (Enam) Alasan Utama yaitu:
1) Pemekaran sebagai Pintu masuk mendominasi penduduk dari luar dan marginalisasi orang asli Papua.
Sama seperti program transmigrasi pada masa lalu, pemekaran menjadi kendaraan bagi masuknya pendatang dan memperkuat dominasi masyarakat non-Papua yang sudah ada. Kajian demografi menunjukkan bahwa setidaknya lima kabupaten/kota, jumlah penduduk non-Papua jauh lebih banyak dari penduduk asli dan hal yang sama sedang terjadi di enam kabupaten lain. Selain aparat sipil negara dan aparat militer beserta kerabat mereka, pemekaran akan mendatangkan penjajah barang dan jasa yang kemudian akan mengembangkan jaringan bisnis mereka dan menetap. Selain itu, ibu kota daerah otonom baru biasanya dibangun di wilayah yang mayoritas penduduknya non-Papua seperti terjadi di Kabupaten Keerom, Papua. Dengan demikian, pembangunan di wilayah pemekaran memperparah marginalisasi orang Papua. Marginalisasi itu juga terjadi dalam ranah politik dan pemerintahan. Kendati otonomi khusus sudah berjalan hampir dua dekade, hanya sedikit orang asli Papua yang mendapat kesempatan menduduki posisi di birokrasi dan parlemen. Di kabupaten Merauke misalnya, persentase orang asli Papua di dalam keseluruhan birokrasi hanya 20%, sisanya adalah warga non-Papua dari berbagai suku nusantara. Data resmi Dewan Perwakilan Rakyat Papua menunjukkan hanya sedikit orang asli Papua yang terpilih sebagai legislator untuk periode 2019-2024 seperti di Kabupaten Sarmi 20 Kursi, 13 Kursi Orang Non Papua, 7 Kursi untuk Orang Asli Papua; Kabupaten Boven Diguel 20 Kursi, 14 Kursi Orang Non Papua, 6 Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Asmat 25 Kursi, 11 Kursi Orang Non Papua, 14 Orang Asli Papua; Kabupaten Fak-Fak 20 Kursi, 12 Kursi Orang Non Papua, 8 Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Raja Ampat, 20 Kursi, 11 Kursi Orang Non Papua, 9 Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Sorong Kota, 30 Kursi, 24 Kursi Orang Non Papua, 6 Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Teluk Wondama, 25 Kursi, 14 Kursi Orang Non Papua, 11Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Merauke, 30 Kursi, 27 Kursi Orang Non Asli, 3 Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Sorong Selatan, 20 Kursi, 17 Kursi Orang Non Papua, 3 Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Sorong 25 Kursi, 18 Kursi Orang Non Papua, 7 Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Kota Jayapura 40 Kursi, 27 Kursi Orang Non Papua, 13 Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Kerom, 20 Kursi, 12 Kursi Orang Non Papua dan 7 Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Jayapura, 25 Kursi, 18 Kursi Orang Non Papua, 7 Kursi Orang Asli Papua; Kabupaten Mimika 35 Kursi, 17 Kursi Orang Non Papua, 18 Orang Asli Papua.
2) Pemekaran sebagai Pintu masuk untuk Korupsi dan beban birokrasi biaya tinggi.
Sama seperti di daerah lain di Indonesia, beban terbesar pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat adalah operasional. Untuk daerah otonomi baru, pengeluaran terbesar adalah pembangunan kantor, pengadaan fasilitas, biaya gaji dan operasional birokrasi. Padahal, kebutuhan prioritas saat ini adalah perbaikan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, seperti di Indonesia, korupsi adalah momok birokrasi. Elite bersekongkol memperkaya diri dan mengorbankan kepentingan umum di Papua. Pejabat Pusat akan ada kecurigaan kepada para Bupati dan Pejabat Papua karena Orang Asli Papua (OAP) dengan jiwa Sosialnya tinggi maka pejabat itu akan bagi uang kepada masyarakat tanpa dia baca untung dan rugi sehingga Pusat akan kenakan kasus Korupsi.
3) Pemekaran sebagai Pintu ekspansi korporasi dan perampasan tanah adat, hutan dan sumber daya lainnya.
Pemekaran dikhawatirkan akan mempercepat laju ekspansi bisnis di pedalaman, yang berakibat pada penguasaan sumber daya oleh korporasi tanpa jaminan keadilan bagi orang asli Papua. Bersamaan dengan pemekaran selama 20 tahun terakhir, pemerintah sudah menggelontorkan setidaknya 240 izin tambang, 79 izin Hak Pengusahaan Hutan, dan 85 izin perkebunan sawit di seluruh Papua. Akibatnya, masyarakat adat Papua harus berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah daerah demi mempertahankan tanah dan sumber daya mereka.
4) Pemekaran sebagai Pintu masuk militerisme dan represi negara.
Kehadiran militer di Papua sangat tinggi. Pembentukan daerah baru memfasilitasi pendirian pusat-pusat militer dan kepolisian baru, baik komando teritorial maupun pos-pos operasi khusus. Di banyak tempat di pedalaman, jumlah personel militer dan polisi jauh melampaui jumlah guru dan dokter. Di wilayah seperti itu, militer dan polisi memainkan peran sentral dan multifungsi. Bahkan, seperti yang terjadi dalam pembangunan jalan trans-Papua, Militer juga menjadi pengelola proyek-proyek infrastruktur.
5) Pemekaran sebagai Pintu masuk perpecahan dan konflik antar kelompok di Papua.
Pemekaran menciptakan konflik horizontal di antara sesama Papua. Pemekaran dinilai sebagai ambisi elite politik Papua; bukan kepentingan rakyat. Selain itu, terjadi Orang Asli Papua yang menolak dengan para bupati dan elite politik pendukung pemekaran.
6) Pemekaran sebagai Pintu masuk untuk strategi penaklukan dan penguasaan.
Karena orang Papua yang penduduknya hanya 4,3 juta jiwa, Mengapa pemekaran dipaksakan untuk Papua yang penduduknya hanya 4,3 juta jiwa, sementara Jawa Barat jumlah penduduknya 46,4 juta dan atau jumlah penduduk Jawa Timur mencapai 38,8 juta jiwa tidak dimekarkan? Jadi pemekaran adalah kombinasi dari penguatan kontrol sipil dan militer terhadap orang Papua, dengan penguasaan lewat pendudukan, penguasaan tanah dan pengambilalihan sumber daya alam (SDA).
Oleh Jubir KNPB wilayah dogiyai
Yames Pigai
Komentar
Posting Komentar