Frans Guna Langkeru
Sebelum dibaptis menjadi Katolik di Milano oleh Ambrosius pada 386, Agustinus telah piawai dalam filsafat interioritas berkat upaya rohani untuk membaca. Pada usia 19, dia membaca buku Hortensius karya Cicero si filsuf stoic (meskipun ia menolak gaya filsafat stoa) dan negarawan Romawi itu. Setelah membaca buku itu, ia lalu berkata “Buku itu mengubah perasaan hatiku dan doaku sehingga terarah kepada-Mu. Maka lain sekalilah selanjutnya niat dan keinginanku… Hasrat jiwaku mendambakan Hikmat kekalMu dan gelora batinku tak tertahankan dan aku mulai bangkit hendak kembali kepadaMu… Aku terkesan amat dalam pada buku itu bukan karena gaya bahasanya, melainkan karena isinya.” (Confessiones, IV.7)
Pada Confessiones VII.10.16, Agustinus mengaku lagi bahwa ia berhutang budi yang dalam pada buku-buku Platonis, terutama Ennead karya Plotinos, yang menolong hidup rohaninya di mana “niat dan keinginan” diubahkan melalui upaya membaca. Ia lantas bilang begini:
Karena dianjurkan oleh buku-buku itu supaya kembali kepada diriku sendiri, aku memasuki kedirianku yang paling tersembunyi dengan bimbingan-Mu. Aku dapat melakukannya karena Engkau menjadi penolongku. Aku masuk dan aku melihat dengan mata jiwaku, betapa pun lemahnya, kulihat di atas mata jiwaku, di atas rohku, terang cahaya yang tak pernah berubah, bukan yang biasa dan yang dapat dilihat oleh semua manusia, bukan pula semacam terang cahaya yang sama jenisnya melainkan yang lebih besar dan yang umpamanya jauh, jauh lebih gemerlap kilauannya dan mengisi segalanya dengan keagungan.
Kutipan ini menarik untuk diberi perhatian guna mendulang makna ‘terapi rohani’ a’la Agustinus. Tahapan indrawi memang menjadi titik kita bertolak maju. Inilah pijakan yang dinamakan aversio. Semenjak dini di usia anak kita telah diakrabkan dengan dunia inderawi. Melalui inderalah budi kita melakukan kontak dengan kenyataan, dengan dunia luar, dengan faham akan “segala”. Namun demikian, adalah salah bila kita berkesimpulan bahwa dunia yang dapat dicerap secara inderawi mencakup ‘segala’. Karena itu langkah berikut yang mesti diambil adalah introversio. Inilah langkah dengan kiblat interior: “masuk kembali kepada diri”. Pada wilayah ini kita menjadi lebih insyaf akan kelebihan dunia luar dan menjadi semakin sadar akan interioritas kita. Sebelum itu, tampaknya kita agak naif tentang realitas: apa yang ada di depan mata, itulah kenyataan. Kita tidak re-fleksif tentang peran budi kita sendiri dalam menangkap semua kenyataan. Jadi tahap introversio adalah krisis fundamental untuk berkiblat kepada kawasan dunia yang paling benar, yakni dunia pemahaman dan pengetahuan (scientia). Kita tahu bahwa kita mempunyai “jiwa”. Diri atau “kedirian” memainkan peranan dalam pengertian dan pengetahuan, berkat adanya jiwa interior. Dalam filsafat modern, gerakan demikian ini kiranya disebut “berpaling kepada subyek”. Subyektifitas tidak dapat diuraikan dan diulas dalam kategori-kategori eksterioritas. Kedirian subyek (the self) memiliki nilai dan kepentingan yang lebih tinggi daripada dunia eksterior karena melaluinya kita diantar “kembali” kepada asal-muasal kita yang sebenarnya. Kondisi kurang insyaf akan interioritas, atau dengan lain perkataan, tidak tahu diri adalah keadaan yang merana di perantauan, di pengasingan jauh dari kodrat kita yang asali. Istilah neo-Platonis yang dipakai untuk untuk keadaan ini adalah exodos: jiwa yang meleset jauh ke pengasingan. Sedangkan panggilan untuk kembali kepada kebenaran adalah ajakan epistrophe. Dalam skema teologi barat istilah yang lebih dikenal berkat teologi Thomas Aquinas adalah exitus/reditus.
Memasuki kedirian, interioritas kita, tidak sama dengan telah tuntasnya panggilan reditus rohani: berpaling kembali pada roh. Interioritas kita memiliki kekayaan dan seluk-beluk yang perlu digali dan dihargai. Meski jiwa kita satu adanya, namun di dalam jiwa, kita mengenal apa yang boleh disebut sebagai jiwa rendah dan jiwa tinggi. Jiwa rendah dapat diterjemahkan sebagai nyawa yang merupakan prinsip hayati. Nyawa adalah jiwa rendah yang dilihat dari segi prinsip hidup dan terkait dengan diri kita sebagai manusia ragawi dan inderawi. Kita hidup berkat prinsip hidup, jiwa. Sedangkan jiwa tinggi adalah bagian interioritas yang melampaui fungsi-fungsi hayat ragawi. Kita sanggup, berkat jiwa tinggi, untuk berpikir dan memilih tanpa keterikatan kepada indera. Jadi, jiwa sebagai kesadaran, malahan kesadaran abstrak, merupakan suatu tingkatan, dalam tahap-tahap tangga nilai interioritas batin, yang melebihi ikatan jiwa kepada dunia inderawi, empiris, eksterior. Agustinus tampaknya menyebut jiwa tinggi ini sebagai roh, namun ia tidak selalu konsisten dalam menggunakannya. Jiwa tinggi menjalankan operasi penalaran dan fungsi seperti perbandingan dan pembedaan, ingatan, keinginan, dan keputusan. Pada bagian jiwa tinggi terdapat meterai sabda ilahi. Dan justru di sinilah Agustinus mengisyafi bahwa jiwa tinggi dan roh manusia berbeda daripada roh Allah, meskipun di medan inilah kontak interior justru terjadi. Demikianlah manusia menjadi semakin rohani bukan dengan tanda lahiriah melainkan dengan realitas interior: pemulihan batin kita agar semakin menyerupai hikmat Allah. Maka program rohani – pada tingkat roh manusia - berhubungan erat dan hakiki dengan program lectio divina, program mencari dan membaca hikmat: “tolle, lege”.
Dengan berbagai pendekatan sepanjang karirnya, Agustinus mempertajam tema “membaca” sebagai program rohani bagi dirinya sendiri dan juga bagi semua orang demi memulihkan hakekat kemanusiaannya. Menjadi pembaca profesional, menurut Agustinus, bukan sekadar menjadi asyik membaca selama masa pendidikan, selaku persiapan untuk hidup profesional tertentu kelak. Kebiasaan membaca menjadi bagian integral bagi hidup bahagia sepanjang hayat, karena berkaitan dengan Hikmat, yang menjelma di dalam kitab suci dan diharapkan bergema pada interioritas si pembaca Kita Suci. Demikianlah membaca merupakan upaya suci, berkat Hikmat Allah.
Oleh: siorus degei
Komentar
Posting Komentar