“Kita harus menyangsikan bagaimana Polisi dengan entengnya mengkriminalisasi rakyat hanya karena dugaan dan prasangka. Padahal aktor yang paling mencurigakan bukanlah rakyat, melainkan aparatus represif negara yang bekerja untuk melayani kepentingan kelas penguasa.” (Anonim)
Kamerad, kami pikir kalian setuju: kalau semua polisi itu bajingan! Kebajinganan aparat ini bukan penilaian asal-asalan, tapi berdasarkan kebrutalan mereka di beragam ruang dan nyaris sepanjang zaman. Praktik spesies kenegaraan itu memang bernas kekerasan. Seperti tentara, mereka soalnya adalah aparatus represif negara. Dalam tulisannya mengenai Komune Paris (1871), Karl Marx menelaah: negara borjuis tidaklah merupakan gagasan, melainkan kenyataan yang mewujud dalam segala peralatannya represinya–represi ideologi (penataran, indoktrinasi, seminar, dan sebagainya); represi hukum (kepolisian, peradilan, dan beragam birokrasi); dan represi fisik (militer, paramiliter, ormas atau preman bentukan penguasa, dan terkadang polisi juga).
Kini: lahir, tumbuh, menua dalam masyarakat kapitalis, bukankah kita telah melihat dan mendengar–bahkan merasakan sendiri–bagaimana banalitas kejahatan dari ketiga alat represi negara itu beroperasi? Tidakkah kalian menyadari bahwa dewasa ini represifitas mereka jadi santapan sehari-hari? Kami yakin: semua kalian pasti tahu kalau diskriminasi rasial oleh aparat tak saja berlangsung di Amerika sana, tapi juga di sekitaran kita–kepada mahasiswa, pelajar, perempuan dan seluruh rakyat yang berstatus Orang Asli Papua (OAP)!
Bahkan, kami pun menyadari. Bahwa semua kalian di negeri ini sedang merasa terancam oleh jepitan represi yang menyambar ke sana-ke mari. Represifitas aparat itu tak sekedar menggelegar dalam arena demonstrasi, tapi juga di pemukiman warga, lahan-lahan pertanian, hutan-hutan adat, serta pabrik dan industri. Kalau di West Papua sana militerisme didukung penuh polisi, pengadilan, dan birokrasi; di Indonesia sini brutalisme kepolisian didorong oleh banyak lembaga negara, hingga polisi-polisi dikerahkan dengan bantuan ormas reaksioner dan gerombolan preman segala.
“Hukum itu seperti sarang laba-laba, yang dapat menangkap lalat kecil, tetapi membiarkan lebah dan tabuhan lepas menerobosnya.” (Jonathan Swift)
“Di bawah pemerintahan yang memenjarakan orang secara tidak adil, tempat yang sebenarnya bagi orang yang benar adalah juga di penjara.” (David Thoreau)
Adalah Victor Yeimo namanya. Yang sampai sekarang mendekam dalam penjara. Sejak semula penangkapan, penahanan, hingga pemenjaraan terhadapnya bukan karena suatu kejahatan, melainkan keberanian mengungkapkan kebenaran. Lebih-lebih kebenaran tentang berlangsungnya situasi kolonial di atas Tanah Papua, kebuasan militerisme dan rasisme terhadap Bangsa West Papua, hingga keinginan terdalam dari bangsa tertindas untuk memperjuangkan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Paling Demokratis.
Hanya dalam mengungkapkan hal-hal benar itulah Victor kerap mendapat terkaman kekuasaan. Dituding mengusik status-quo, maka 2009 menjadi momen pertama dia mengalami penangkapan. Selama masa penahanan dirinya mengalami aneka siksaan mengerikan. Tetapi setelah keluar dari tahanan ia tak pernah menyurutkan perjuangan. Beberapa tahun setelah dibebaskan, Victor kemudian kembali masuk daftar pencarian orang. Perburuan terhadapnya dilakukan negara atas tuduhan memprovokasi kerusuhan pada aksi massa 2019 silam. Setelah hampir genap dua tahun diburu dan bersembunyi di pelbagai penjuru; masuk 9 Mei 2021 ia pun berhasil dilakukan penjeratan.
Dengan mengerahkan Satgas Newangkawi (gabungan dua elemen kekuatan fasis: polisi dan tentara), penguasa fasis-kolonial merancang skenario penangkapan begitu rupa. Mula-mula mereka mendapat info bahwa sasarannya telah tiba di Abepura, Jayapura, Papua. Ditahunya Victor telah memasuki kawasan operasi kekuasaan, maka tetiba semua jaringan internet di sana dibuat lumpuh. Pelumpuhan akses informasi ini kontan disusul pengerahan para penangkap, pengepungan lokasi korban, hingga pemborgolan dan penyeretan sampai ke sarang Polda Papua.
Berkat pemutusan jaringan internet, maka penangkapan itu berlangsung lancar, diam-diam, dan nyaris tidak bisa diketahui. Sehari setelah ditangkap kontan kekuasaan melancarkan manipulasi. Tanpa melewati penyerahan berkas ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk disidangkan, dirinya langsung ditetapkan sebagai tersangka. Selanjutnya kekejian yang dia rasakan berlangsung menggila: penguasa menahannnya dengan melampaui masa tahanan.
Dalam keadaan itulah ia mengalami pelbagai siksaan: diinterogasi paksa untuk mengakui kesalahan; disiksa untuk membocorkan informasi gerakan; dibatasi akses pengecara, pendeta, dan keluarga; dibiarkan mendera kelaparan; dijauhkan dari perawatan kesehatan; dan hampir pula terkena racun. Soal keadaan menggetirkan dari Tapol Papua, dalam Jurnal Tapol (2013) tentang Tidak Ada Tahanan Politik? Pembungkaman Protes Politik di Papua Barat dijelaskan:
“Menurut para pengacara HAM yang ada di Jayapura, penjara-penjara yang ada di Papua Barat mengalami masalah kekurangan air bersih, kurangnya fasilitas medis, kesombongan para sipir, dan penggunaan kekerasan di dalam penjara. Para tahanan politik di Papua Barat mungkin yang lebih mudah mendapat tindakan kekerasan dan diskriminasi…. Sementara pemerintah tetap menekankan bahwa tahanan politik hanyalah para pelaku kejahatan biasa, namun pada kenyataannya mereka diperlakukan sangat berbeda dalam sistem penjara. Menurut laporan tahunan para pengacara Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) yang berbasis di Jayapura perbedaan ini ‘dapat dilihat pada perbedaan dalam waktu kunjungan, pihak-pihak yang diijinkan mengunjungi, sampai pada ijin tertentu dari otoritaas tertentu’. Selanjutnya, para tahanan tidak dihiraukan ‘hak-hak yang semestinya diberikan oleh suatu lembaga pemasyarakatan dan kanwil hukum dan HAM’.”
Begitulah nestapa Victor Yeimo dalam kurungan. Karena menyatakan kebenaran maka dirinya tak sekadar ditanggalkannya kemerdekaannya, tapi terutama dirundung beragam kebiadaban pemenjaraan. Memang berdiri di atas sistem kebohongan itu aktivitas mengungkapkan kebenaran dapat menjadi sebuah kejahatan. Itulah mengapa Vaclav Havel sampai mengatakan: ‘bila tiang utama sistem adalah hidup dalam kebohongan, maka tak mengherankan apabila ancaman utamanya adalah hidup dalam kebenaran’.
Persis itulah Victor mengalami apa yang disebut Michel Foucault sebagai parrhesia: aktivitas mengungkapkan kebenaran tidak hanya dibutuhkan keberanian, melainkan pula kesediaan menanggung resiko. Makanya mereka yang melakukannya diistilahkan oleh Foucault menjadi parrhesiates: orang yang bersedia bergelut dengan bahaya. Sebab kebenaran baginya selalu melawan cara pandang kelompok dominan dan merupakan sebuah permainan di antara hidup dan mati.
Berada di bawah rezim yang merawat kebohongan, maka mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk menyatakan kebenaran selalu didekati dengan ancaman, kekerasan dan hukuman. Memang sudah sangat lama kekuasaan di negeri beringsut dari kepentingan rakyat. Dicengkeram oleh kekuatan modal maka negara, rezim, kebijakan beserta aparaturnya diikat untuk melayani keinginan kapitalis-imperialis, kapitalis-swasta dan kapitalis birokrat.
Itulah mengapa pemerintah, parlemen, politisi, petugas kepolisian dan militer berperan seperti spesies pandir. Setiap aturan hukum dan deretan pasal bagi mereka bukan untuk mencari kebenaran dan menegakan keadilan, melainkan menyelundupkan kebohongan dan memanggungkan ketidakadilan. Di tangan merekalah tumpukan peraturan dikarantina sebagai prosedur semata dan bait konstitusi didendangkan guna memenuhi restorasi elit saja.
Sekarang! Dalam rangka menentang kejahatan kekuasaan itulah kami mengajak seluruh elemen pro-demokrasi untuk menuntut: 'Bebaskan Victor Yeimo dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua'.
Bilik Perjuangan, 25 Januari 2022
Atas nama kaum tertindas, terhisap dan miskin; panjang umur perjuangan,
Rakyat Miskin Mataram
Komentar
Posting Komentar