Perlakuan Rasis Menjelang Peringatan Trikora, Permintaan Maaf dan HMNS
Perlakuan Rasis Menjelang Peringatan Trikora, Permintaan Maaf dan HMNS
“Bangsa yang menindas bangsa lain tidak mungkin bebas, jika bangsa penindas tidak memberikan sokongan langsung dan tegas terhadap gerakan bangsa tertindas melawan penjajahan ‘negeri sendiri’.” (Dasar-Dasar Leninisme)
Tri Komando Rakyat (Trikora) merupakan awal praktik kolonial di tanah Papua. Melalui dekrit inilah deklarasi kemerdekaan West Papua dilucurkan paksa dengan pelbagai prasangka rasial dan rongrongan militerisme. Lihat saja dalam dekritnya penguasa Indonesia menuding sebuah bangsa yang telah merdeka itu sebagai boneka Belanda, hingga melarang pengibaran Bintang Kejora, dan mengerahkan tentara untuk melancarkan penaklukannya. Terhitung sejak 19 Desember 1961-19 Desember 2021, maka sekarang telah genap 60 tahun peristiwa itu berlalu. Jutaan rakyat-bangsa tertindas menjadi korban utamanya: kekayaan alam mereka dijarah; lingkungan mereka dirusak; tubuh mereka dianiaya dan lenyap; mental mereka disubordinasi; kekhasan budaya mereka dihina; dan peradaban mereka dianggap tak maju.
Kondisi itulah yang selama ini dibangun, berlangsung dan dipertahankan pemerintah kolonial di tanah jajahannya. Pendekatan diskrimitaif, rasistik, dan militeristik menjadi metode utama untuk menegakkan kekuasaannya. Menggunakan cara-cara inilah Bangsa West Papua tak sekadar dikontrol dan diawasi, melainkan pula diperkosa, dipenjara, dihilangkan paksa atau dibunuh. Sama sekali tidak ada keadilan mereka, karena penguasa terus-menerus melancarkan eksploitasi dan kekerasan—triliunan dolar berhasil dikutip dari tanah Papua dan 1 juta lebih orang asli Papua telah dianiaya dan dimusnahkan. Pada momen peringatan 60 tahun Trikora, atas kesadaran atas itu semualah kami mendirikan gerakan perlawanan. Lebih-lebih Nyamuk sebagai bagian dari bangsa tanah jajahan. Kesadarannya tidak saja terbentuk dari informasi dan pengetahuan, tapi terutama pengalaman merasakan penindasan.
Penindasan itu bukan sebatas dia alami ketika berada tanah jajahan, melainkan pula saat dirinya menempuh pendidikan di negeri tergantung. Perlakuan rasialistik dan militeristik yang kerap kali dihadapi sepanjang melaksanakan gerakan semakin meneguhkan sikapnya untuk melawan. Teraktual, Kamis (16/12) malam, perlakuan rasis dari aparat kolonial Nyamuk dapatkan. Peristiwa tersebut menyambar ketika mengantarkan Surat Pemberitahuan Aksi Trikora di ruangan Intelkam Mapolres Kota Mataram. Polisi enggan menerima surat pemberitahuan tak sebatas dengan alasan bahwa Mimbar Bebas tidak boleh dilaksanakan pada hari libur (19/12) tapi juga karena persoalan identitas. Kala ia menunjukkan KTP—yang dirinya buat di West Papua—polisi kontan berdiri congkak. Polisi tidak percaya kalau ini merupakan KTP asli Nyamuk.
Walhasil, surat tadi kemudian ditolak mentah-mentah. Emosi Nyamuk lantas mendidih. Namun amarahnya mampu dikontrol hingga dia keluar dari sarang kepolisian. Di depan kantor polisi sudah menunggu kawan-kawan solidaritas yang tidak ikut masuk karena tak mengenakan penutup moncong. Kejadian yang dialaminya di dalam ruangan pun diceritakan. Kawan-kawannya mendengarkan dengan seksama, tapi dari pos dekat pintu keluar-masuk terlihat beberapa ekor aparat yang sedang memperhatikan dan tertawa. Muak akan perlakuan kepolisian maka Nyamuk dan kawan-kawan beringsut segera. Hanya di tengah perjalanan Nyamuk mendapati handphone-nya hilang. Dia yakin kalau barangnya jatuh atau dicuri sewaktu di kantor kepolian.
Meski telah mendapatkan perlakuan rasis, pelarangan dan musibah, tapi mimbar bebas dari Komite Aksi Mahasiswa untuk HAM dan Demokrasi (KAMERAD) tetap dilaksanakan pada hari yang telah ditentukan. Pada Minggu (19/12), aksi itu didirikan di tengah jalan dekat Islamic Center Mataram. Pukul 14.30 Wita, 7 massa KAMERAD dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) tiba. Polisi maupun intel belum terdeteksi keberadaannya. Ketujuh kawan ini lantas membagi-bagikan selebaran agitasi dan propaganda politik secara leluasa. Dari 120 lembar yang tersedia hanya 80 lembaran yang mampu disebarkan di tiga titik lampu lalu lintas yang ada di situ. Soalnya 14.56 Wita hujan mulai menetes jatuh. Rinainya mulai menebal hingga para pembagi selebaran mencari tempat berteduh.
Pukul 15.10 Wita, 2 kawan Individu Pro-Demokrasi (Prodem) dan 1 kawan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang bergabung dalam KAMERAD muncul. Sementara 5 kawan AMP lainnya terhambat oleh hujan dan akan segera menyusul. Hujan saat itu soalnya telah turun dengan deras dan tidak pasti kapan berhenti. Dalam keadaan inilah mimbar bebas dibuka. Beberapa saat kemudian 2 kawan AMP hadir dan ikut barisan aksi. Kala tangis langit jatuh dengan curah tinggi maka jalannya mimbar bebas bukan dikepung oleh polisi tapi petir, air dan angin. Sementara kepolisian sedang menempuh perjalanan. Sekitar 16.00 Wita, 3 orang polisi dengan jaket anti-airnya datang. Sesampai di lokasi mereka langsung memarkir motor, masuk ke pos lalu-lintas, dan merekam serta memotret para demonstran. Tepat 16.20 Wita, megaphone mengalami kemacetan akibat kemasukan air hujan. Orasi-orasi lantas terhenti dan 2 orang kawan membawa pengeras suara menuju tempat perbaikan.
Menyaksikan orasi yang terhenti maka polisi di tertawa. Mereka sepertinya senang kalau protes tertunda dan massa membubarkan dirinya. Tetapi 16.37 Wita, Nyamuk dan 2 kawan AMP tiba. Kehadiran ketiganya tidak saja membawa bendera tapi juga megaphone baru. Dengan pengeras suara yang diberi warna seperti Bintang Kejora inilah orasi-orasi kembali menggema. Hanya memasuki 16.50 Wita hujan mulai mereda dan aparat kepolisian mulai membanjir di sekitar massa. Muncul di situ tak sekadar polisi lalu lintas, tapi juga seabrek intel dengan aneka busana. Terhitung jumlah aparatus represif negara sekarang melebihi 20. Pengambilan gambar dan video mereka lakukan seakan tanpa jeda. Sementara beberapa kali spanduk pegangan kawan-kawan KAMERAD—yang bertuliskan (1) Trikora: Awal Penjajahan Indonesia terhadap Bangsa West Papua, (2) Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua, dan (3) Adili Semua Penjahat HAM di Indonesia dan West Papua—beberapa kali coba dihalangi dari penglihatan para pengendara.
Di sisi lain terdapat pula spesies intel yang diam-diam mendekati 2 Individu Prodem dengan seabrek pertanyaan intimidatif. Menjelang meredanya hujan memang aparat nampak mulai agresif. Jika di saat rinai mengucur lebat mereka berlindung seperti binatang kedinginan, maka ketika langit tinggallah gerimis mereka kontan bertingkah seiras hewan buas. Mengahadapi ancaman inilah kawan-kawan KAMERAD bertahan: sebisa mungkin melanjutkan orasi hingga beringsut ke pelaksanaan teatrikal permintaan maaf ‘bangsa penindas’ terhadap ‘bangsa tertindas’. Pukul 17.35 Wita, aksi simbolik itu mengambil posisi di tengah perempatan jalan: 6 orang Papua berdiri tegak dan 6 orang Indonesia duduk tersungkur.
Simbolisasi penyungkuran kawan-kawan FRI-WP—yang menjadi bagian dari Bangsa Indonesia—di hadapan kawan-kawan AMP—saat berlangsungnya teatrikal KAMERAD—itu bukan menyiratkan pemujaan, melainkan penyesalan dan permohonan maaf mendalam. Mereka mengharapkan permaafan atas segala penindasan nasional yang berlangsung di tanah jajahan sampai sekarang. Kelas penguasa mungkin memandang penundukan kepala secara sukarela sebagai praktik yang merendahkan bangsa penindas. Padahal: di depan bangsa tertindas, bangsa yang dijajah 60 tahun lamanya oleh pemerintah kolonialis, penundukan kepala itu merupakan bentuk penghormatan terhadap kemanusiaan—lebih-lebih untuk menunjukan kepada dunia bahwa bangsa tertindas juga merupakan manusia yang memiliki kehormatan sama seperti bangsa-bangsa lain. Singkatnya: ditundukannya kepala ‘bangsa penindas’ pada ‘bangsa tertindas’ tidak pernah menjadi ajang perendahan diri, tapi merupakan monumen kesadaran dan tendensi manusiawi untuk kebebasan dan kesetaraan hidup dengan manusia-manusia dari tanah jajahan.
Dalam tetarikal yang dilangsungkan KAMERAD, permintaan maaf dari ‘bangsa penindas’ diterima oleh ‘bangsa tertindas’. Hanya permaafan itu didapatkan cuma-cuma, apalagi sebatas dengan menyampaikan permohonan maaf. Tidak! Kepantasan ‘bangsa penindas’ untuk beroleh kemaafan dari ‘bangsa tertindas’ tak cukup dengan kata-kata atau pengakuan kesalahan, tapi juga harus disertai dengan mendukung hak bangsa dalam menentukan nasib sendiri. Sebab permohonan maaf kepada manusia yang ditindas tidak-tidak akan berarti tanpa kehendak bertanggung jawab untuk memulihkan hak-hak korban penindasan. Maka melalui aksi simbolik itulah kawan-kawan FRI-WP bukan sebatas meminta maaf kepada kawan-kawan AMP melainkan pula menyatakan dukungan terhadap Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) bagi Bangsa West Papua.
Pukul 17.47 Wita, teatrikal dihentikan untuk kemudian dilanjutkan pembacaan pernyataan sikap yang diberi judul ‘Trikora sebagai Awal Penindasan terhadap Bangsa West Papua’ dengan tuntutan terutama ‘Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua’. Tepat 17.02 Wita, sikap politik KAMERAD selesai dibacakan dan massa aksi membubarkan diri secara bersama-sama. Sementara polisi dan intel-intel terlihat masih berkerumun, bahkan beberapa di antaranya menyempatkan diri mengambil video dan gambar segala.
Komentar
Posting Komentar