19 Desember: Sejarah aneksasi bangsa Papua Barat
Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Dominikus Sorabut
Aneksasi dalam hukum bangsa-bangsa adalah meluaskan wilayah negara dengan cara kekerasan (terkadang dengan traktat). Biasanya dengan dalih: kekeluargaan bangsa serta hubungan kenegaraan atau kebudayaan. Jika pemerintah daerah yang dianeksasi itu ditiadakan dengan peperangan, maka aneksasi itu dinamakan dengan peperangan, maka aneksasi dinamankan debellitio (Lat.). Contoh debellitio: Korea oleh Jepang (1910), Albania oleh Italia (1939), Ceko oleh Jerman (1939). Jika daerah yang dianeksasi tidak mempunyai status (tak bertuan) dinamakan occupation (lat.). Contoh occupation: Montenegro oleh Serbia (PD.I), Indonesia oleh Jepang (1942-1945) (Ensiklopedi).
Kebenaran tentang adanya aneksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua Barat dibagi dalam dua tahap, yaitu: Pertama, aneksasi dengan traktat (perjanjian); tahap kedua, aneksasi melalui kekerasan militer negara Republik Indonesia.
Aneksasi dengan traktat/perjanjian
Upaya aneksasi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua Barat oleh pemerintah Indonesia sesungguhnya sudah diawali dengan perdebatan dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 31 Mei 1945 mengalik pada soal wilayah dan bentuk negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, pada bagian akhir pidatonya, si Bung (Ir. Soekarno) menegaskan, “Maka oleh karena itu, di dalam sidang ini saya akan memberikan suara saya kepada paham bahwa negara Indonesia harus meliputi pula Malaya dan Papua”.
Dalam perdebatan tentang wilayah negara Indonesia ada perbedaan cara pandang atau perbedaan pendapat yang sangat tajam antara kubu Ir. Soekarno dan Dr. Mohammad Hatta dengan kawan-kawan. Soekarno menghendaki Malaka dan Papua juga masuk sebagai wilayah Indonesia atas alasan yang spekulatif dari sejarah kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Sedangkan Muh. Hatta lebih suka Malaka merdeka sendiri. Dan gagasan tentang Papua, Hatta justru mengkhawatirkan tumbuhnya pikiran imperialisme di kalangan kolega-koleganya, sehingga menginginkan nasib bangsa Papua diserahkan kepada rakyat Papua sendiri. \
Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945, pikiran imperialisme Ir. Soekarno (Presiden pertama RI) dan kawan-kawan (kolega-koleganya) tidak dapat dibendung. Pemerintah Indonesia terus berupaya lewat diplomasi politik untuk memperluas wilayah negara sampai ke wilayah Nederlands-Nieuw-Guinea.
Diplomasi memperluas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan traktat atau perjanjian dilakukan dalam beberapa kali pertemuan dan perundingan dengan pemerintah Belanda.
Persetujuan-persetujuan antara Belanda dan Indonesia antara lain, Persetujuan Linggarjati (1947), Persetujuan Renville (1948), dan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 terjadi kompromi antara Belanda dan Indonesia. Dalam pasal 2 kompromi, charter of the Transfer of Sovereignty yang dihasilkan KMB menetapkan antara lain menyebutkan:
“That the status quo of the residency of New Guinea shall be maintained with the stipulation that within a year from the date of transfer of Sovereignty of the Republic of the United States of Indonesia, the Question of the political status of New Guinea be determined through negotiation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands”. (Managasi Sihombing: Aspek Hukum Keberadaan irian Atau Papua Dalam Republik Indonesia dan Isu-Isu)
Aneksasi dengan traktat atau perjanjian melalui pertemuan diplomasi dan perundingan-perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda terus mengalami kegagalan. Terutama, perundingan yang bersifat kompromi dalam KMB (1949) yang gagal total karena tidak diimplementasikan oleh Belanda, telah direspons oleh Presiden Sukarno (Presiden pertama RI) melalui sebuah perintah yang dikenal dengan Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961, di alun-alun utara kota Yogyakarta. Komando dengan nama sandi Mandala Trikora merupakan awal dari perintah agresi militer Indonesia (TNI) di atas tanah dan orang asli bangsa Papua Barat.
Kompromi politik antara kedua negara kolonisator yang masing-masing berambisi menguasai wilayah dan bangsa Papua Barat terus berlanjut, setelah perebutan Papua dengan agresi militer pada awal 1962 oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada 15 Agustus 1962 dibuat lagi suatu perjanjian, yang dikenal dengan nama New York Agreement (Perjanjian New York) antara pemerintah kerajaan Belanda dan Republik Indonesia di kota New York, Amerika Serikat.
Perjanjian New York adalah salah satu persetujuan antara Belanda dan Indonesia yang sukses, setelah PBB dan Amerika Serikat terlibat secara langsung untuk pertama kalinya dalam persoalan status politik dan hukum bangsa Papua. Tetapi, bangsa Papua tidak dilibatkan dalam perjanjian New York itu. Sebagaimana juga telah terjadi dengan persetujuan-persetujuan sebelumnya.
Dengan demikian terlihat jelas, bahwa PBB, Indonesia dan Belanda serta Amerika Serikat telah mengabaikan atau kasarnya telah meniadakan right of self-identification dan right of self-determination dari bangsa Papua Barat.
Dalam Sidang Umum PBB 1961 orang asli bangsa Papua tidak berbicara untuk menentukan nasib masa depan mereka walaupun Nicholas Jouwe, Tanggahma, dan Womsiwor berada di Amerika Serikat saat itu. Perdebatan di PBB pada waktu itu mengecewakan.
“Pada rapat luar biasa Dewan Papua November 1961, Jouwe, Tanggahman, dan Womsiwor tidak hadir. Trio ini persis waktu itu sudah berangkat ke Amerika sebagai ahli pada delegasi Belanda di PBB. Seperti kita ketahui, hal ini bukanlah keberhasilan. Luns dipaksa menarik kembali rencananya dan harus puas dengan resolusi Brazzaville, dimana bukan saja yang diungkapkan dukungan terhadap azas menentukan nasib sendiri, tetapi Belanda juga dianjurkan untuk sekali waktu bicara dengan Indonesia. Juga dalam arti lain kunjungan ini bagi Jouwe dan rekan-rekannya merupakan satu kekecewaan besar. Orang-orang Papua sama sekali hampir tidak dibutuhkan. Mereka merasa terguncang oleh iklim di Sidang Umum PBB, yang menurut penilaian mereka ditentukan oleh emosi-emosi dan perasaan-perasaan antikolonial. Lebih khusus lagi mereka dengan heran dan kaget bertanyakan diri, dari mana semua orang-orang itu mendapatkan hak untuk tanpa pengetahuan sedikit pun tentang urusan perkaranya berani memberikan penilaian terhadap Papua dan penduduknya. Satu-satunya hiburan mereka adalah wakil-wakil kelompok Brazzaville. Jouwe terutama terkesan oleh menteri luar negeri Nigeria Wachuku, yang berani melawan orang-orang Rusia, dengan menyatakan mendukung dekolonisasi yang perlahan-lahan dan satu persahabatan yang tetap antara kolonisator dan yang dijajah.
Hal itu sesuai dengan isi hati Jouwe. Namun, harus dipertanyakan juga apakah Belanda akan mampu bertahan melawan tekanan internasional ini. Berita-berita tentang perkembangan di New York memperkuat pemikiran di antara orang-orang Papua, apabila harus, mereka mesti memikul sendiri tanggung jawabnya.
Pemikiran untuk memproklamasikan kemerdekaan di hari-hari ini mulai turut berperan dalam diskusi-diskusi di antara orang-orang muda yang sadar politik di Hollandia dan tempat lain di luar negeri. Gemanya masuk juga sampai ke PBB. Pada pihak lain perkembangan-perkembangan baru di Papua dipandang dengan prihatin, yang mendorong Subandrio mengatakan dalam sidang umum bahwa negaranya tidak berpikir untuk bertindak sambil menggunakan senjata selama urusan ini tetap ada melulu antara Belanda dan Indonesia. Hal itu akan menjadi lain kalau Indonesia dihadapkan kepada fait a compli, seperti proklamasi kemerdekaan Irian Barat.
Dalam sidang umum PBB tersebut terlihat ambisi Indonesia yang menggebu-gebu untuk menganeksasi Papua Barat. Belanda yang semakin terdesak oleh tekanan internasional, harus berpikir dua kali untuk akhirnya melepaskan tanggung jawab kepada orang Papua, untuk menentukan nasib sendiri secara langsung berhadapan dengan Indonesia.
Bila semua pihak dalam Sidang Umum PBB tetap sadar dan setia menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan asas-asas hukum internasional, seharusnya tidak perlu dibuat perjanjian New York untuk plebisit, karena bangsa Papua sudah menyatakan kemerdekaan 19 Oktober 1961 sesuai dengan asas-asas dekolonisasi dan konvensi HAM atau Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1948, pasal 15 ayat 1 dan ayat 2, sebaliknya harus ada suatu keputusan di PBB untuk menyerahkan kedaulatan dan kekuasaan administrasi pemerintahan oleh Belanda kepada bangsa Papua Barat melalui elite-elite politik bangsa Papua. Dan untuk selanjutnya bekerja sama dengan PBB menyusun pemerintahan negara Papua Barat. Apalagi dalam sidang PBB sudah terdengar juga gema suara-suara kemerdekaan bangsa Papua Barat. Sebagaimana terungkap dalam unjuk rasa terbesar di Hollandia.
Unjuk rasa terbesar terjadi 10 Agustus 1962 di Hollandia, di mana berhimpun kira-kira 1.400 orang. Kata pembukaan disampaikan oleh Kaisiepo, yang menuntut bahwa pemerintah Belanda sebelum pergi masih harus memberikan “Hak dan kekuasaan di Papua Barat” kepada orang-orang Papua, juga anggota Dewan Eliezer Bonay, Arfan, dan Mofu memperdengarkan suaranya. Tuntutan yang dirumuskan Kaisiepo dituangkan dalam satu resolusi, yang pada 13 Agustus 1962 dibubuhi 150 tanda tangan dan diajukan kepada Platteel dengan permohonan untuk diteruskan kepada sekjen PBB.
Tetapi PBB dan negara-negara anggota tidak dapat berbuat banyak untuk mendukung kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua Barat, karena masing-masing negara dengan kepentingan mereka tidak ingin terlibat dalam kasus Papua, sedangkan pemerintah Belanda sendiri tidak dapat berbuat lebih jauh karena tidak dapat dukungan dari Amerika, Inggris, dan Australia secara pasti.
Dan selanjutnya, membiarkan Indonesia menganeksasi Papua melalui traktat (perjanjian) New York, dan implementasi awal diwujudkan dengan penyerahan administrasi dari Nederlands-Nieuw-Guinea kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) 1 Oktober 1962. Kemudian UNTEA menyerahkan administrasi kepada pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963. Penyerahan administrasi dan penurunan bendera Papua Bintang Kejora (Bintang Fajar) melalui Perjanjian New York. Tindakan itu oleh orang asli bangsa Papua sekarang disebut sebagai ,”Aneksasi dengan Traktat”.
Bila disimak pengertian kata aneksasi dikaitkan dengan definisi menurut hukum bangsa-bangsa dibandingkan dengan kata integrasi, ada perbedaan yang sangat mencolok. Integrasi adalah penggabungan sedangkan aneksasi (annexation) artinya penyerbuan atau pencaplokan (penggabungan dengan).
Berkaitan dengan persoalan status politik dan hukum bangsa Papua, maka dikatakan aneksasi kemerdekaan kedaulatan Papua Barat dengan kekerasan. Dalam hal ini penggabungan secara paksa dengan kekerasan militer Indonesia.
Upaya pemerintah Indonesia menganeksasi atau menggabungkan dengan traktat (integrated by agreement) wilayah dan bangsa Papua Barat dirasakan masih ada ganjalan, karena menurut New York Agreement, bangsa Papua harus menentukan nasib sendiri lewat plebisit (referendum). Supaya pemerintah Indonesia dapat memenangkan penentuan pendapat rakyat yang diadakan lewat plebisit, maka perlu dibuatkan situasi dan kondisi politik ke arah kemenangan mutlak dengan cara apapun.
Sebelum New York Agreement ditandatangani, pemerintah Indonesia telah merencanakan dan melakukan agresi militer merebut tanah Papua Barat. Perlu dicatat, bahwa Perjanjian New York adalah perjanjian antara Belanda dan Indonesia, bukan antara Indonesia dan bangsa Papua, dan agresi militer merebut Papua pertama terjadi antara Indonesia dan Belanda.
Operasi militer untuk berintegrasi (dengan kekerasan/integrated by violence) secara faktual dirintis mulai tahun 1961 dengan masuknya bala tentara Indonesia ke Papua dengan sebutan sukarelawan dalam melakukan infiltrasi untuk menguasai sebagian wilayah Papua dari Belanda dan kemudian Papua dimanfaatkan untuk mengacaukan jalannya pemerintahan Belanda atas Papua.
Salah satu perwira ABRI yang menjadi infiltran itu adalah kapten Benny Moerdani (kemudian menjadi Men/Pangab 1983-1988, Menhamkam 1988-1993) dengan pasukan berkekuatan 206 orang berasal dari RPKAD dan Kompi II Batalyon 530/Para dari Kodam Brawijaya. Pasukan ini diterjunkan di Merauke dengan sandi Operasi Naga. Operasi penyusupan di Papua secara keseluruhan diberi Sandi Operasi Djayawijaya. Setelah New York Agreement disetujui, Benny dipindahkan ke Hollandia (Jayapura sekarang) menjadi komandan sementara seluruh pasukan infiltran Indonesia di Irian Barat.”
Sesudah New York Agreement ditandatangani, berakhir sudah perang diplomasi maupun perang fisik antara Belanda dan Indonesia. Tetapi Indonesia belum merasa tenang, karena masih harus menghadapi orang Papua yang telah memiliki kemerdekaan 1 Desember 1961.
Pemerintah Indonesia yang sebelumnya berperang melawan Belanda untuk menganeksasi Papua Barat, mulai mengkonsolidasi ABRI untuk melawan para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaan. Para pejuang nasionalisme Papua Barat dicap separatis, makar, disintegrasi, gerakan pengacau keamanan (GPK) dan stigma lainnya.
Aneksasi kemerdekaan kedaulatan Papua Barat melalui kekerasan militer Indonesia
Bila kita membaca sejarah perjuangan suatu bangsa, maka stigmatisasi makar, separatis, dan lainnya lebih banyak digunakan oleh penjajah untuk membungkam perjuangan kemerdekaan suatu bangsa. Misalnya, “di masa lampau ketika Afrika dijajah Perancis, Inggris, Spanyol dan Portugal, kaum nasionalis yang berjuang melawan penjajah digambarkan dan dituduh gangster, agitator, ekstremis, pemimpin gerombolan atau pembunuh, bukan sebagai pejuang kebebasan”.
Untuk menaklukkan pejuang-pejuang kemerdekaan bangsa Papua Barat, militer Indonesia yang pada saat itu disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melakukan operasi militer di seluruh tanah Papua Barat. Pemerintah Indonesia menganggap negara Papua adalah negara boneka buatan Belanda. Oleh karena itu, harus dibubarkan atau ditiadakan sama sekali dari planet bumi ini.
Sebagaimana yang telah disampaikan mantan Presiden Soekarno (presiden pertama RI) dalam pidatonya, yang dikenal dengan Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961 di alun-alun utara kota Yogyakarta.
Pikiran imperialisme membuat negara Papua dicap atau diidentikkan dengan negara boneka buatan Belanda. Sayang pemerintah Indonesia lupa, bahwa kemerdekaan negara Republik Indonesia juga atas belas kasihan Jepang, atas penjajahan yang amat panjang 350 tahun oleh Belanda. Sesungguhnya Indonesia juga boneka buatan Jepang, karena kemerdekaan diberikan secara cuma-cuma tanpa ada pertumpahan darah oleh Jepang.
Kekerasan militer Indonesia untuk memperluas wilayah ke tanah Papua Barat melalui operasi militer dikenal dalam berbagai sandi operasi. Pada tahun 1963, Men/Pangad Jend. A. Yani mengeluarkan perintah operasi Wisnumurti untuk mendatangkan pasukan dari divisi-divisi di Jawa, Makasar, dan Maluku untuk mengembangkan kekuatan tempur dan staf Kodam XVII (Komando Daerah Militer Tujuh Belas). Tugas pokok Kodam ini adalah menegakkan kewibawaan pemerintah Indonesia, menjamin ketertiban dan keamanan serta membantu Pemerintah Sipil membangun Irian Barat.
Operasi-operasi militer Indonesia selanjutnya adalah:
– Operasi Sadar di bawah komando Pandam Brigjen R. Kartinjo (1965) di Manokwari dan Kebar untuk menangkap Ferry Awom dan Julianus Wanma secara hidup atau mati. Sebanyak 36 orang korban dan yang lain busuk di hutan;
– Operasi Baratyudha oleh Pandam Brigjen R. Bintaro (1966-1967) bertujuan menghancurkan perlawanan dan mempersiapkan kemenangan Pepera, daerah konsentrasi Manokwari, Sorong, Merauke, dan Jayapura dan 73 orang tewas;
– Operasi Wibawa oleh Pangdam Brigjen Sarwo Edi untuk memenangkan situasi psikologis demi kemenangan Pepera, operasi ini berhasil menembak 73 orang, 60 orang ditangkap, 3.539 orang menyerahkan diri dari kelompok-kelompok perlawanan dari suku Arfak di Manokwari dipimpin Lodewijk Mandacan dan Ferry Awom, serta seluruh daerah Papua, dengan jumlah korban 634 orang. Untuk memenangkan Pepera, intimidasi dan kekerasan penyiksaan, serta pembunuhan telah memaksa sebagian orang memilih menjadi Indonesia. Secara keseluruhan dalam operasi militer dilibatkan 6.220 orang pasukan.
– Operasi Pamungkas (1970-1976), Sesudah memenangkan Pepera, 29 Januari 1970, Brigjen Acub Zainal ditunjuk menjabat Pangdam Cenderawasih, operasinya di Manokwari untuk menangkap Ferry Awom yang belum menyerah dan banyak korban;
– Operasi senyum (1977-1978) oleh Panglima ABRI, Jenderal M. Yusuf, wilayah operasinya Wamena dan Timika. Jutaan nyawa orang Papua menjadi korban. Robin Osborne Mencatat Operasi Militer Paling Buruk;
– DOM (1980-1984) Pembunuhan Arnold Ap dan jutaan nyawa korban serta banyak rakyat eksodus ke PNG.
– Operasi Gagak I, Pangdam Mayjen H. Simanjuntak (1985-1986);
– Operasi Gagak II, Pangdam Mayjen H. Simanjuntak (1986-1987) dengan tugas pokok menghancurkan GPK;
– Operasi Kasuari di bawah Pangdam Trikora, Mayjen Wismoyo Arismunandar, operasi Kasuari (1987-1988) tugas pokok menghancurkan OPM secara fisik, operasi Kasuari II di sepanjang perbatasan PNG dengan titik tekanan operasi teritorial, intelijen, dan tempur serta kamtibmas;
– Operasi Rajawali di bawah Pangdam Mayjen Abinowo, Operasi Rajawali I (1989-1990) dan Operasi Rajawali II (1990-1991) ditujukan untuk menghancurkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di sepanjang perbatasan PNG.
Setelah gerakan reformasi di Indonesia tahun 1998, operasi militer masih berlangsung. Seperti yang terjadi di Tingginambut, Pegunungan Tengah Papua pada 2008-2011 dengan sandi operasi Kontingensi, untuk menumpas TPN/OPM yang dipimpin Jenderal TPN Goliat Tabuni. Dan operasi militer dalam praktiknya akan berlanjut selama belum ada penyelesaian status politik dan hukum bangsa Papua Barat secara setara, damai, demokratis, adil, beradab dan bermartabat.
Operasi militer yang dilakukan oleh militer Indonesia itu sama saja dengan perang melawan orang Papua yang mempertahankan hak kemerdekaan mereka. Perang untuk memperluas wilayah NKRI dengan operasi militer di tanah Papua, kita sebut sebagai aneksasi debilitation, yaitu aneksasi suatu wilayah dengan cara perang. Dengan demikian wilayah Papua telah aneksasi dengan traktat dan perang.
Para elite politik dan rakyat Papua yang memahami HAM politik telah berjuang mempertahankan kemerdekaan 1 Desember 1961 dari proses aneksasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, sehingga timbul perlawanan dalam berbagai bentuk dan cara di seluruh tanah air Papua Barat.
Mantan Gubernur Papua, Eliaser J. Bonay, menjadi salah satu pemimpin perlawanan dengan mendirikan Nasional Partai Papua (Nappa). Eliaser J. Bonay melakukan perlawanan, karena ia menganggap bahwa Indonesia mengingkar janji, tidak memberikan kemerdekaan secara penuh kepada rakyat Papua Barat.
Terianus Aronggear dan kawan-kawan juga melakukan perlawanan sejak 20 Juli 1963. Terianus yang adalah seorang guru SD YPK di Manokwari, beberapa kali melakukan pertemuan rahasia untuk menentang penyelenggaraan Pepera. Bahkan pada 16 April 1965, Terianus bersama Kaleb Tarau, Manuel Horota, Manuel Watofa, Yulianus Wanma, dan Melianus Sawaki, mengibarkan bendera Papua Barat dan menyanyikan lagu Hai Tanahku Papua. Ketika pemerintah Indonesia mengetahui, Terianus dan beberapa rekan ditangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.
Pasukan Gerilya Organisasi Papua Merdeka (OPM) dibentuk pada 1 April 1965, ketika Ferdinand Awom mengumpulkan sejumlah mantan anggota PVK (Papua Vrijwilligers Korps). Setelah melakukan latihan selama beberapa bulan, pada 18 Juli 1965 sekitar pukul 04.00 pagi, 450 anggota OPM menyerbu pos TNI di Arfai, Manokwari. Pada 27 November 1971 Ferdinand Awom ditangkap dengan cara bujukan oleh Pangdam Cenderawasih Acub Zainal melalui Terianus Aronggear. Kemudian dibunuh entah dimana.
Secara organisasi OPM lahir dan tumbuh dalam dua gerakan gerilya. Gerakan bawah tanah didirikan oleh Aser Demotahay pada 1963 di Jayapura. Gerakan itu menempuh jalan lebih kooperatif dengan Pemerintah Indonesia. Organisasi yang pada 1970 setelah Pepera selesai terus aktif membina para pengikutnya di kabupaten Jayapura, terutama di pantai Timur, pantai barat, Depapre dan Genyem. Aser Demotohay ditangkap dan dipenjarakan sampai akhir hidupnya.
Bentrokan antara OPM yang berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa Papua terus terjadi:
– Pada tanggal 26 Juli 1965 penyerangan terhadap anggota Puterpa (sekarang Koramil.Pen) di Kebar, Manokwari dipimpin oleh Johanes Jambuane dengan kekuatan 408 orang;
– Peristiwa pos Sansapor, 2 Februari 1968 pasukan OPM pimpinan Julianus Wanma dan David Prawar menyerang pos Puterpa dengan kekuatan berkisar 200 orang;
– Peristiwa di Irai Anggi pada tanggal 4-6 Maret 1968 OPM pimpinan Yoseph Indey menyerang pos kompi III 314 Siliwangi;
– pada tahun 1967 Mayor Tituler Lodwijk Mandacan masuk hutan mendukung Ferry Awom atau mendukung OPM dengan kekuatan 14.000 suku Arfak;
– OPM pimpinan Daniel Wanma menyerang pos Makbon pada tanggal 21 Januari 1968;
– Pada 27 April 1969, sebuah pesawat yang membawa Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Panglima Kodam setempat ditembaki. Dan dibahas oleh Sarwo Edhie dengan menerjunkan tentara payung Indonesia dari Jawa Barat pada 30 April 1969 hingga sekitar 14.000 orang melarikan diri ke hutan ketika pesawat pembom B-26 membrondong Enarotali;
– Pada tanggal 1 Juli 1971 dari markas Viktoria di Jayapura, Zeth Jafet Rumkorem memproklamasikan pemerintahan Papua Barat;
– Di Nabire pada tahun 1971 OPM di bawah pimpinan Yulian Yap Marey dan Yason Marey, BA beserta para pengikutnya melakukan penyerangan pos-pos ABRI yang ada;
– Pada tahun 1975 kegiatan OPM di Merauke dipimpin oleh B. Mawen mengajak rakyat sekitar untuk menyerang pos-pos tentara Indonesia sekitar perbatasan;
– Pada tahun 1975 terungkap suatu aksi dari OPM yang membuat “Pernyataan Rakyat Yapen Waropen untuk membentuk dan mempertahankan bangsa Papua”;
– Pada tanggal 20 April 1977 OPM pimpinan Alex Degey/Derey menyerang pos militer di Kobakma dan menewaskan kopral Rochim dan dua orang anggota ABRI lainnya luka berat;
– Pada tanggal 16 Mei 1978 di kampung Aurina Kecamatan Kaureh Marten E. Tabu menyandera komandan Korem 172 Ismael, Assisten Intel Kodam XVII Cenderawasih Letnan Kolonel Fajar Admiral, ketua DPRD Tingkat I Irian Jaya Willem Maloali, Pastor Aloisius Umbos, pengusaha Frans Lius;
– Bentrokan OPM pada tahun 1984/1985 dengan ABRI telah mengakibatkan terjadinya arus pengungsi besar-besaran dari tanah Papua ke PNG, yang terbesar dalam sejarah Papua sejak 1960-an;
– Pengibaran Bendera OPM di Tsinga, terjadi pertempuran dan saling kejar mengejar antara ABRI dan Pimpinan OPM Kelly Kwalik sejak 21 Mei dan Juli 1994;
Secara wilayah geografis kelompok-kelompok yang bergerilya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua Barat yakni:
– Kelompok Hans Bonay di perbatasan PNG,
– Kelompok Matias Wenda di perbatasan Kerom dan PNG,
– Kelompok Welem Onde di Merauke,
– Kelompok Tadeus Yogi di Paniai,
– Kelompok Kelly kwalik di Pegunungan Tengah,
– Kelompok Kalakdana dan Urupkulin di Pegunungan Bintang,
– Kelompok Robert Uria Yoweni di Jayapura sampai Sarmi serta
– Kelompok Awom di Biak.
Jika diurutkan peristiwa-peristiwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari aneksasi cukup panjang dan masih banyak detailnya dalam berbagai bentuk dan cara. Namun sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendahuluan, bahwa tulisan dalam buku ini penekanannya pada aspek hukum. Oleh karena itu, fakta sejarah yang ditulis tidak seluruhnya. Tetapi hanya yang seperlunya saja, untuk mengingatkan, menyadarkan dan meyakinkan semua pihak adanya perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa Papua.
Bahwa fase pertama perjuangan mempertahankan kemerdekaan terjadi sejak tahun 1963 sampai di era 1990-an. Fase pertama itu terdiri dari perjuangan bawah tanah dan perang gerilya yang menegangkan, mencekam dan sangat menderita. Kerana terasa tindakan militer Indonesia yang membabi buta di seluruh tanah Papua, dan telah mengorbankan nyawa manusia Papua yang tidak sedikit jumlahnya, bila dibandingkan jumlah populasi penduduk bangsa Papua pada saat itu hanya kurang lebih 815.904 jiwa.
Fase kedua ditandai dengan adanya gerakan reformasi di Indonesia dan juga di Tanah Papua pada 1998 yang dikoordinir oleh para pemuda dan mahasiswa dengan menggulingkan pemerintahan rezim Orde Baru Indonesia, pimpinan mantan Presiden Soeharto.
Pada fase kedua orang asli Papua bebas berteriak merdeka secara lebih terbuka luas di kota-kota sampai ke kampung-kampung seluruh Tanah Papua. Karena di era reformasi HAM dan demokrasi telah menjadi asas utama perubahan perjuangan hidup di semua sektor kehidupan manusia secara lebih baik, adil, beradab, dan bermartabat bagi makhluk di planet bumi ini.
Pembahasan mempertahankan kemerdekaan dalam fase kedua, tidak dibahas secara mendetail. Karena sifatnya juga hanya mengingatkan, menegaskan dan menyadarkan semua pihak, bahwa bangsa Papua masih berjuang merebut kemerdekaan dari Indonesia. Agar pihak-pihak yang menjadi aktor pendukung proses aneksasi memahami dan mengubah kebijakan luar negeri mereka terhadap Papua, sehingga perjuangan kemerdekaan Papua yang ada itu tidak dianggap lagi sebagai separatis, tetapi mendapat dukungan pengakuan kemerdekaan. (*)
Referensi:
- Mangasi Sihombing, Aspek Hukum Keberadaan Irian atau Papua Dalam Republik Indonesia dan Isu-Isu Terkait. (Departemen Luar Negeri Indonesia)
- Alexander L .Griapon, Penyunting, Manifesto Politik Komite Nasional Papua. Risalah Perdebatan di Nieuw Guinea Raad 30 oktober 1961
- P.J. Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri .
- Tim Imparsial, Reformasi di Persimpangan Rancangan Komponen Cadangan Pertahanan Negara (Seri Alternative Policy, sebuah studi kebijakan di Indonesia).
- Tim LIPI,Papua Menggugat. Jurnal Penelitian Politik vol.3 No.1.2006
- Pemda Irian Barat, Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Di Irian Barat 1969
- Ensiklopedi Indonesia, Edisi Khusus jilid 1
- ILO Convention Ondigenous And Tribal People 1989 (No.169)
Penulis adalah Ketua DAP Lapago
Editor: Timoteus Marten
Komentar
Posting Komentar